Coklit Bujang Tua


 

Coklit Bujang Tua

Ini cerita saat tahapan Pilkada 2015 lalu. Salah satu yang harus kami lakukan sebagai penyelenggara Pemilu adalah supervisi terhadap pendataan daftar pemilih.  Seperti diketahui, pendataan daftar pemilih (ringkasnya disebut pemutakhiran data) ini adalah proses yang cukup panjang dan banyak masalah.

Tugas besar dari proses pemutakhiran data ada adalah memastikan semua warga negara yang memiliki hak pilih masuk dalam daftar pemilih tetap, dan mencoret orang-orang yang sudah meninggal atau sudah pindah domisili dari daftar pemilih sebelumnya.

Petugas yang mendata ini adalah PPDP, yang merupakan singkatan dari Petugas Pemutakhiran Daftar Pemilih. Mereka datang ke rumah-rumah penduduk untuk melakukan pendataan. Tugas PPDP ini sederhananya disebut Coklit, alias Pencocokan dan Penelitian.

Meski secara berjenjang, PPDP harus berkordinasi oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tingkat kelurahan, namun KPU tak bisa lepas tangan. Harus memantau dan memastikan PPDP ini, benar-benar datang ke rumah-rumah.

Satu hari, aku bersama tim dari KPU Kota Bandar Lampung, datang ke rumah salah seorang warga, di suatu kelurahan.  

“Di rumah ini, ada berapa mata pilih pak?” tanyaku.

“Tadinya ada dua, saya dan ibu. Tapi ibu saya barusan meninggal,”jawabnya.

“Oh, apakah petugas sudah mencoret nama ibu yang sudah meninggal?”

“Sepertinya sudah. Makanya tertera di formulir pendataan, hanya nama saya sendiri,” ujarnya sembari menunjuk formulir yang ditempel di kaca depan rumah.

Aku merasa ada yang agak aneh dari jawaban si bapak. Dari perawakan dan raut mukanya, tampak jelas usianya tak lagi muda. Mengapa hanya ada satu mata pilih di rumah ini? Bagaimana dengan anak-anaknya? Apakah anak-anaknya tinggal di luar kota semua, untuk menuntut ilmu, atau mungkin sudah menikah semua? Rumah ini memang tampaknya sepi, hanya si bapak yang menemui kami.

“Hem, bagaimana dengan anak-anak bapak.  Mereka terdata dimana?,” tanyaku perlahan.

 “Anak saya masih kecil,” terdengar jawaban si bapak seperti sekenanya.

“Masih kecil? Berapa tahun?’tanyaku lagi.

“Dua tahun”.

“Hah, ah yang benar. Memang anak bapak ada berapa?” tanyaku makin penasaran. Naluri jurnalistikku bangkit kembali. Apalagi saat itu aku belum lama meninggalkan profesi jurnalis, jadi hasrat ingin bertanya masih amat kuat memenuhi rasa penasaranku.

“Hanya satu,” jawabnya lagi.

Aku terdiam. Maaf, yang tadi disebut ibu bapak meninggal, itu ibu kandung atau istri? Kulihat muka si bapak agak berubah. Duh, apa salahku. Aih, aku merasa ada yang tak beres. Tadi, pada salah seorang staf yang bertanya, si bapak menjelaskan dia bekerja sebagai PNS di salah satu kabupaten di Lampung. Jabatannya tinggi. Dan dilihat dari rumah dan isinya, sepertinya bapaknya sudah terbilang mapan.

Bahkan, dalari pembicaraan sebelumnya itu, terungkap  ternyata bapak itu teman sekolah si staf ketika masih SMP. Staf kantor kami itu sudah berusia diatas 50 tahun.

Aku menoleh pada staf sekretariat KPU yang turut mendampingiku supervisi. Mereka semua diam. Ada yang menunduk, ada yang memencet key pad ponsel, ada yang mencatat, ada pula yang sibuk menikmati kue yang dihidangkan. Saat itu memang baru beberapa hari lebaran idul fitri, jadi masih banyak kue-kue terhidang.

Melihat mereka semua sibuk sendiri, aku meneruskan pembicaraan. “Kami hanya ingin memastikan saja pak, tak ada warga yang memiliki hak pilih yang tak terdata. Dan warga yang sudah meninggal harus dicoret namanya dari daftar pemilih, agar tak masuk dalam daftar pemilih yang akan kita tetapkan pada Pilkada mendatang.”

“Ya, yang meninggal adalah ibu saja. Saya tak punya anak, karena saya belum menikah.”

Duh, aku terperanjat. Kulihat si bapak tampak Salting alias salah tingkah. Staf-staf KPU yang tadinya berdiam diri, semua mengangkat muka dan menoleh ke arahku. Ada yang nyengir, ada yang tersenyum, ada pula yang ikut-ikutan Salting. Oalah, jadi sejak tadi mereka mendengarkan pembicaraanku toh.

“Oh, mohon maaf pak.  Maaf bila pertanyaan saya membuat tak nyaman. Mumpung lebaran, maaf lahir batin deh,” kataku berusaha mencairkan suasana.

Si bapak yang tadinya sempat tegang, menjadi rilek kembali. Oke, oke, ayo dimakan kuenya. Boleh dihabiskan. Boleh dibungkus dan dibawa pulang. Oia, saya punya tape ketan. Saya ambilkan dulu ya dari dari Kulkas. Itu Fanta dan spritenya, silakan dibuka,” katanya ramah. Si bapak lalu bolak balik ke belakang mengeluarkan makanan yang masih ada, seperti tape ketan, kripik pisang, es buah, dsb.

Hahahaaa. Jadi lebaranan deh.

 

 

Berita Terkait

Top