Malasnya Mengucap Terimakasih


 

Malasnya Mengucap “Terimakasih”

Cerita ini bukan untuk menjelek-jeleknya seseorang. Apalagi hendak mendiskreditkannya secara politis. Sebab, cerita ini tak menyebutkan nama asli si termaksud. Kisah ini ditulis dengan tujuan mudah-mudahan bisa diambil hikmahnya saja.

Dulu, di salah satu organisasi yang pernah kuikuti, aku punya seorang staf yang enggan sekali mengucap terimakasih, untuk hal apapun. Termasuk bila diberi uang. Menjengkelkan, memang. Dia memang layak dikasihani. Berasal dari keluarga tak mampu. Merantau, tinggal jauh dari orang tua. Di organisasi kami, yang nirlaba ini, dia pun diberi gaji yang sangat minimalis, alias jauh dari layak.

Karena kondisinya itulah, dia memang patut dikasihani, alias dibantu. Karena organisasi belum mampu menaikkan gajinya, sesekali aku memberinya uang sebagai tambahan uang lelah. Tapi anak ini memang aneh. Bila diberi uang, dia langsung ngeloyor begitu saja. Jangankan mengucapkan terima kasih, memandang ke arah mukaku saja tidak. Begitu berulang-ulang.

Padahal, kadang uang yang kuberi itu hasil meraih kocek yang terdalam, hasil dari perang batin, apakah mau memberi uang atau tidak. Soalnya, aku juga penghasilannya pas-pasan.

Penampilan dan air mukanya si staf yang sebut saja Beno, selalu sendu (mungkin sudah bawaan lahir), aku kadang membuang jauh-jauh pikiran kalau aku juga kondisinya belum terlalu bagus dibanding dia. Untuk ukuran pekerja, Beno tak tergolong orang yang ligat.

Bila aku menugaskannya menemui orang-orang tertentu, meski itu memang sudah menjadi tugasnya, aku merasa perlu memberikan tambahan uang saku. Tampangnya yang melas membuat aku seperti tak pernah kapok dengan sikapnya yang acuh tak acuh ketika kuberi sesuatu.

Mungkin itu pikirnya itu memang hak-nya, yaw ajar saja uang itu diberikan  padanya. Atau dia berpikir, rejeki itu kan dari Allah, jadi mengapa harus berterima kasih pada manusia. Waduh, semoga aja gak segininya ya pikirannnya. Semua rejeki memang dari Allah, tapi “kenyamanan” dalam hubungan kemanusiaan tetap harus dijaga toh.

Pernah suatu kali aku menyuruhnya mentranslet naskah bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Kulihat dia tekun sekali mengerjakannya. Aku lantas memberinya dua lembar uang dalam amplop. Kupikir, ya sebagai upahnya mengerjakan translate itu. Lagi-lagi di luar dugaan.

Saat tanganku ulurkan untuk menyerahkan amplop itu, kulihat Beno hanya melirik sekilas sambil menarik amplop itu, dan meletakkannya di sampingnya. Si Beno masih terus membaca teks yang kusuruh translate. Walah… Meski begitu, aku tak kapok. Tabiat orang kan beda=beda, kataku menghibur diri. Satu hari, aku memutuskan untuk menaikkan gajinya, meski harus pakai uangku pribadi.

*****   

Aku ingat dulu, saat masih tinggal ngontrak rumah bersama adik-adikku. Saat itu mereka masih kuliah, sedang aku sudah bekerja. Mereka, adik-adikku itu, bila diberi uang, baik sedikit maupun amat sedikit, rasa terima kasihnya minta ampun, membikin haru.

Salah seorang adikku, sebut saja Dahlan, yang paling dahsyat bila mengucap terima kasih. Air mukanya bersinar-sinar, tangannya menggengam erat uang yang kukasih, meski jumlahnya sebenarnya tidak memadai.  Sampai-sampai aku kerap menyesal, telah memberi uang dengan jumlah segitu. Ingin ditambahkan saat itu juga, kan tidak elok.

Bila kuberi uang kali lain, adikku itu lagi mengucap terima kasih yang bahkan membikin nyeri. Nyeri karena bukan saja dari kalimatnya, tapi juga dari ekspresi atau bahasa tubuhnya yang takzim dalam hal berterima kasih.

Pernah suatu kali, ketika dia baru datang dari kampung, dan bergabung dengan kakak-kakaknya karena akan kuliah di kota, aku memberinya setumpuk celana jeans layak pakai. Dahlan mengucap terima kasih dengan muka berseri-seri, lalu menata tumpukan celana jeans itu di dalam lemarinya.

Namun aku heran, hingga dia tamat kuliah, tak pernah kulihat celana jeans itu dipakainya, atau dipermak lebih dahuliu sebelum dipakai. Usut punya usut, ternyata Dahlan tak suka memakai celana jeans, dia hanya suka memakai celana dasar. Jadi ucapan terima kasih dan air muka berseri, hanya ditunjukkannya untuk menyenang-nyenangkan hatiku, kakaknya yang sudah memberi barang tersebut.

Ah, alangkan bedanya Dahlan dengan si Beno.

Dahlan memang tipe orang yang selalu bersyukur. Saat ini dia bekerja sebagai pegawai honorer di kantor desa, kampung kami. Meski gaji tak seberapa dan selalu dirapel pembayarannya, Dahlan  tampak hidup selalu bahagia bersama istri dan dua anaknya. Mereka tinggal di rumah sederhana, dengan halaman yang penuh dengan tanaman sayuran dan buah-buahan. Mukanya selalu cerah berseri-seri. Sikapnya optimis.

*****

Satu hari, aku memanggil Beno untuk suatu pekerjaan. Aku memberinya tips yang lumayan. Aku tahu, Beno akan menarik pemberianku lalu pergi begitu saja. Jadi aku tak menghiraukannya lagi, dan langsung larut dalam kesibukan menulis berita. Lamat-lamat kudengar Beno berkata,” Terima kasih mbak.”

Aku mengangkat muka dengan takjub. What…..suara apa tadi? Siapa yang bicara? Beno menatapku dengan muka melasnya. Oh, ternyata benar anak ini yang bicara. Kejadian apa yang membuat anak itu berubah? Oalah, siapa yang habis memarahi dan menegurnya?

Beberapa hari kemudian, secara tak sengaja aku bertemu dengan atasan kami, kepala organisasi nirlaba ini. Aku bercerita tentang Beno yang sudah empat tahun bekerja dengan kami, tapi gajinya belum pernah naik. Eh, si bos tiba-tiba bilang,” Ya sudah, naikkan saja gaji Beno, jadi dua kali lipat.”

Uwoowwwww….. Beno, Beno. Gajimu ternyata terletak pada ucapan terimakasih yang selama ini kamu tahan selama bertahun-tahun…..

Enggal, 22 Mei 2016

Berita Terkait

Top