Mahar Menjadi Pejabat Publik

“Nanti kalau sudah habis masa kerja di KPU, tetaplah bekerja kepada publik.”
Kalimat Abah Fadjri yang disampaikan pertelepon itu, selalu kuingat. Aku memang sering terlibat pembicaraan telpon dengan Abah, karena pertemuan-pertemuan yang kami lakukan, tak cukup menuntaskan kata-kata yang hendak dikisahkan.
Bekerja untuk publik maksudnya apa, Abah? Tanyaku tak mengerti.
Ya banyak. Seperti menjadi anggota DPRD.
Aku tertawa mendengar kalimat Abah, yang kuanggap asal celutuk. Aih enggaklah , saya tidak punya modal, jawabku asal bunyi.
Mendengar jawabanku yang disertai tawa kecil, Abah melanjutkan,” Lho kerja seperti itu sangat penting. Kalau hanya sekedar mencari nafkah, kamu bisa dagang atau buka toko. Tapi tidak berdampak banyak kepada umat.” Aku membayangkan Abah sedang memasang wajah serius dengan kening berkerut ketika mengucapkan kalimat itu.
Hem, benarkah begitu? Aku lantas mengingat dulu, sebelum di KPU ini, aku sempat berjualan via online. Tapi partai kecil, alias ecer yang sangat ecer. Hanya menawarkan barang via smartphone dan sosial media. Yang kutawarkan adalah setelan baju anak. Sebuah aktivitas yang tidak terlalu serius sebenarnya, dilakukan di sela-sela kesibukanku mengurus anak di rumah, menulis buku, atau di sela-sela meliput dan menulis berita.
Meski aku sempat menertawakan kalimat Abah, aku selalu mengingatnya. Apalagi dalam beberapa kali pertemuan Abah selalu bertanya, kapan masa jabatanku di KPU selesai. Dia lagi-lagi ingin aku bekerja yang berhadapan langsung dengan publik, supaya lebih berdampak dan bermanfaat. Kamu punya bakat dan kemampuan untuk menjadi pejabat publik, kata Abah. Aduh, kali aku tidak ingin tertawa lagi, karena takut menyinggung keseriusannya.
***
Suamiku, yang biasa kupanggil Ajo, selalu berkata padaku, bahwa banyak nasebat Abah Fadjri yang harus dicamkan. “Kamu selama ini terlalu fokus dengan penjelsan Abah yang berkaitan dengan riset dan penulisan buku saja. Tidak pernah mendengar dan memikirkan nasehat-nasehat bijak beliau,” kata Ajo, yang selalu mendampingiku saat bertemu dengana Abah, di rumahnya, di sebuah kampung yang terpelosok.
Konteks pertemuanku dengan Abah sejatinya memang hanya periset dan narasumber. Ayahanda Abah Fadjri, konon adalah orang yang mendirikan organisasi NU di Lampung. Sang ayah mendapat perintah langsung dari Hadratus Syekh, Hasyim Asyari. Sebagai anak, Abah banyak mengeetahui informasi tentang berdiri dan berkembangnya NU di Lampung. Hal itu kerena ayahnya sering bercerita pada Abah dan mengajaknya mengembara dalam perjalanan-perjalanan dakwah sang kiai.
Satu pesan Abah yang selalu diulang-ulang Ajo adalah, bahwa aku harus siap bila kelak aku akan dikecewakan oleh orang –orang yang kukagumi, dan hasil karyaku akan diklaim oleh orang lain
“Tapi konteks Abah kan bicara tentang buku,” sergahku.
“Lho, apa yang dikatakan Abah itu maknanya luas, mencakup seluruh makna hidup. Pikiran kamu hanya fokus ke bahan tulisan untuk buku saja, makanya tidak bisa nengambil hikmah pernyataan seorang ulama,” tukas ajo.
Aku terdiam. Mencoba mengingat ingat apa saja kalimat bijak dan pesan yang pernah disampaikan oleb Abah. “Banyak, sangat banyak,” kata Ajo.
Tapi Ajo belum tahu apa yang dikatakan padaku soal pejabat publik tempo hari. Selain karena pembicaraannya via telpon, aku belum menceritakannya pada Ajo, karena khawatir dibilang ke-geer-an.
Bila Ajo menyebut Abah Fadjri, aku seperti menyesali, tak sempat banyak mereguk ilmu padanya. Demikian pula Ajo, yang sempat ditawarkan Abah untuk “nyantri” dengannya, barang beberapa bulan, sambil menulis buku tentang tasawuf. Buku yang kutulis pun belum terbit. Abah sudah berpulang ke rahmatullah dua tahun lalu, karena penyakit leukimia.
Bila masih ada Abah, aku ingin sekali bercerita tentang kegagalanku dalam mengikuti seleksi “pejabat publik” beberapa waktu lalu. Bahwa (ternyata) ada mahar yang harus dibayar untuk mendapatkan posisi itu. Dan ketika permintaan mahar itu tak kubayar, maka aku dinyatakan tidak lolos seleksi.
Gold House, 28 Juni 2020