Syarat Tak Tertulis Seleksi Kerja


tukang sayur keliling paham politik

Di kompleks kami, ada beberapa tukang sayur, baik yang keliling maupun yang mangkal. 

Para tukang sayur itu sudah stand by dan keliling, sejak jam 4 subuh hingga pukul 11 siang. Jadi kita bisa milih, mau beli pada tukang sayur yang mana. Mau nunggu yang keliling lewat, atau datang ke yang mangkal.

Masing-masing ada kelebihan dan kekurangannya. Kalau nunggu yang keliling, pastinya lebih hemat tenaga. Gak perlu otw.  Tapi kekurangannya, kita disuguhkan dengan sayuran “sisa-sisa”.

Sisa di sini maksudnya sisa yg belum dibeli orang, tempat di mana si tukang sayur sudah keliling. Jadi belum tentu apa yang kita ingin beli masih ada di gerobak dagangannya. Kecuali kalau kita sudah memesan sebelumnya ya.

Kalau ke tukang sayur mangkal, ya sayuran yang disuguhkan masih lengkap, asal kita datang gak kesiangan. Kita bisa milih apa yang kita ingin beli, semua terhidang di depan mata, dan masih fresh juga.

Biasanya, setiap pagi, atau setidaknya dua hari sekali, aku beli sayur ke ibu yang mangkal di salah satu pojok masjid di komplek kami.  Senang lihat sayuran, berbagai jenis lauk pauk, kue-kue bahkan buah-buahan segar terhampar.

Bisa ketemu dengan ibu-ibu lainnya juga, yang  notabene adalah para tetangga. Secara tinggal di kompleks itu kan membuat kita agak jarang bergaul, karena sibuk dengan urusan dan kerjaan masing-masing.  

Sejak pandemi Covid-19 ini, aku jadi lebih sering nunggu tukang sayur keliling datang. Entah, kok rasanya lebih nyaman. Atau mungkin karena udah jenuh otw ke tukang sayur mangkal.

Tukang sayur yang mangkal alias buka lapak di sekitaran masjid rumah kami, ada dua orang, ibu-ibu semua. Kalau yang keliling, ada tiga orang, bapak-bapak semua.

Beli di tukang sayur keliling, membuat kita bisa lebih privasi dalam mengobrol. Yah namanya saja dia datang ke rumah kita, jadi cuma kita donk yang dilayani.

Suatu kali,  si tukang sayur bertanya pada saya, “Mbak kerja di mana? Apa gak kerja, ” katanya.

*Udah gak kerja pak. Alias pengangguran, ” jawabku sekenanya.

“Memang tadinya kerja dimana?”

“Macam-macam pak. Banyak kerjaan saya,” jawabku makin gak jelas.

Kutatap muka si bapak. Sepertinya dia merasa gak enjoy dengan jawabanku. Aku jadi merasa berdosa, seolah gak nganggep dirinya.

“Saya tadinya pekerja kontrak pak. Pas kontrak habis, saya daftar di tempat lain. Gak keterima, karena saya dimintain duit sebagai syarat kelulusan, tapi gak saya kasih.”

“Lho kok gak dikasih mbak? “

Giliran aku yang terkesiap mendengar pertanyaan si tukang sayur. Tapi kali ini aku gak mau”mengecewakannya”  lagi dengan pertanyaan asbun alias asal bunyi.

“Saya gak berani pak bayar-bayar begitu. Takut ketahuan Tuhan, takut ketahuan manusia juga sih, ” jawabku.. Heem, kyknya jawabanku (masih) juga asal ya.

“Mbak, jaman sekarang ini apa-apa ya harus bayar.”

“ Saya punya ponakan, lulusan S2 di Jawa. Disuruh bapaknya buka kebun, dia gak mau, karena merasa sudah sekolah tinggi,” sambung si tukang sayur, sebut saja namanya Pak Prapto.

“Terus?”, tanyaku mulai tertarik.

” Ya akhirnya kebun bapaknya itu dijual. Uangnya untuk biaya masuk kerja.”

“Jadinya sama aja kan mbak, judulnya tetap kerja dari hasil kebun itu, ” kata Pak Prapto, yang membuat aku takjub dengan analoginya.

“Kerja di mana itu pak?”, tanyaku jadi penasaran.

Si tukang sayur menyebut sebuah instansi beken tingkat nasional, yang tak perlu kutulis di sini.

” Jadi mbak kemarin ikut seleksi itu, sebenarnya sudah keterima. Tinggal memenuhi syrat yang tidak tertulisnya,” kata Pak Prapto lagi, yang membuatku kelu.

Sekarang ini memang jamannya begitu mbak. Mau kerja itu harus pakai duit. Kecuali kayak saya ini, jadi tukang sayur keliling, ya gak perlu nyogok,  kata Pak Prapto sambil menstater sepeda motornya, lalu berlalu dari pandanganku.

Tinggallah aku yang terkesiap dan termangu. Tapi yah gak bisa juga lama-lama termangu di depan gerbang rumah, aku kudu segera ke dapur untuk mengolah belanjaan pagi itu, ya kan pemirsa, hehehe…

 

23 Agustus 2021

 

Berita Terkait

Top