Peristiwa Talangsari 1989 dalam Catatan Penulis Buku

Sempat lama saya tidak menulis, berbicara, atau membahas tentang Peristiwa Talangsari 1989, di Lampung Timur. Terakhir saya menulis Kasus Pelanggaran HAM tersebut pada Februari 2019, saat mengenang peristiwa yang terjadi pada 7 Februari 1989 tersebut. Itu pun hanya di blog pribadi, yang kemudian saya share di media sosial, karena saya sudah tidak menjadi jurnalis lagi,
Sejak tahun 2014, saya berhenti menjadi jurnalis Metro TV, dan sejak 2007 saya tak lagi menjadi jurnalis Majalah dan Koran Tempo. Saya memang sempat mendouble bekerja di dua media nasional tersebut. Pada November 2014 itu, saya dilantik menjadi Komisioner KPU Kota Bandar Lampung.
Saya menulis Talangsari itu karena ada dua aparat keamanan dari salah satu kesatuan yang datang ke kantor KPU Bandar Lampung, untuk sebuah keperluan. Saat bertemu dengan saya, mereka mengaku sangat “mengenal dekat” saya, karena dulu pernah menulis buku Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung, yang saat peluncuran bukunya di Universitas Lampung, sempat ramai alias (nyaris) ricuh.
Kata mereka juga, saat ada peringatan peristiwa tersebut di tahun 2007, tak lama sebelum buku saya diluncurkan, mereka juga “menginteli” saya. Pun dalam berbagai kesempatan lainnya, terutama saat saya menjadi mahasiswa, yang cukup aktif terlibat dalam aksi unjuk rasa.
Selama menjadi komisioner KPU, saya menjaga jarak dengan peristiwa tersebut. Tak lagi hadir dalam aksi-aksi unjuk rasa para korban, maupun diskusi-diskusi tentang Talangsari yang masih rutin digelar pada peringatan tahunan peristiwa tersebut. Itu saya lakukan untuk menjaga “integritas” saya yang saat itu sebagai penyelenggara pemilu, yang katanya tidak boleh nyambi-nyambi urusan lain. Bahkan belakangan bergabung dalam Ormas pun dilarang.
Meski begitu, komunikasi sesekali masih terjalin, terutama pada anak korban yang memiliki telepon seluler dan media sosial. Saya juga masih sering mendengar, nama saya disebut oleh para korban, ketika ada pihak-pihak yang datang kepada mereka, baik yang menawarkan bantuan atau terutama yang ingin menggali informasi seputar Peristiwa Talangsari.
“Mbak, beberapa waktu lalu saya menemui para korban, mereka bilang temui mbak Ila saja bila ingin tahu lebih jelas tentang Peristiwa Talangsari,” demikian cerita teman-teman NGO, jurnalis, akademisi, ataupun mahasiswa yang ingin riset tentang Talangsari.
Atau ada juga yang mengatakan begini,” Kami ditanya udah izin mbak Ila belum, menemui kami (para korban). Kalau belum ke mbak Ila, kami tidak bisa menerima kalian,” kata seorang teman lainnya.
Saya pun menjawab,” Ok, katakan sudah dari saya.”
Hehe, sepertinya ajaib dan berguna sekali ya saya ini.
Saya paham, para korban sudah jenuh menceritakan kejadian tersebut. Bahkan ada korban yang saat saya menulis buku Talangsari dulu, tak sanggup bercerita apapun, dan jadi menangis saat diminta kesaksiannya. Ibu itu trauma, karena peristiwa tersebut telah menghilangkan suami dan seorang anaknya. Para korban juga lelah ditanya-tanya. Setelah cerita, memang mau apa? Lah negara saja diam. Janji-janji saja, tutur salah seorang korban, kepada saya.
Sampai kemudian pada Oktober 2022 lalu, saya diminta untuk menjadi Tim Asistensi Tim Pemyelesaian Kasus Pelanggaran HAM (TPP HAM) berat masa lalu.
“Mbak Ila kan yang punya datanya lengkap, tahu persis peristiwanya. Jadi sangat penting bergabung dalam tim ini,” kata Pak Tisnanta, Dosen Universitas Lampung.
Setelah terlibat pembicaraan panjang, saya pun setuju. Awalnya saya ragu, karena sudah lama tak mengikuti perjuangan korban peristiwa Talangsari. Hanya sekedar mengikuti melalui media massa saja. Saya pun tak tahu, apa arah perjuangan para korban kini. Tapi okelah, mungkin ada (sedikit) gunanya saya berada di tim itu, seperti kata Pak Tisnanta, yang saya dengar juga masih sering “berbicara” tentang Talamgsari.
Saya pun terlibat beberapa kali kontak dengan Edi Ersadad, Ketua Paguyuban Peristiwa Talangsari Lampung (KP2TL). “ Kami masih seperti dulu mbak, konsisten dengan perjuangan untuk pengadilan HAM. Tapi kalau mbak Ila berada di tim non-yudisioal itu, kami bisa terima. Karena kalau bukan mbak Ila, saya tidak mengeluarkan para korban,” kata Edi, dengan sikapnya yang kekeh.
Sampai kemudian pada hari yang direncanakan, suatu siang kami bertemu dengan para korban di rumah salah seorang warga (korban) di daerah Siderejo. Kenangan itu menyeruak begitu tajam, ketka kami mulai masuk desa itu. Ada rumah bapaknya Edi yang sering saya kunjungi, dan menjadi “basecamp” Komnas HAM saat mengadakan penyelidikan kasus itu pada 2007 lalu. Ada lapangan desa tempat pernah digelar pengajian akbar peringatan Talangsari, yang banyak sekali dihadiri aparat keamanan.
Bertemu dengan para korban, membuat saya teringat pada masa lalu. Ya saat menemui mereka, berkali-kali, kadang siang, kadang sore, kadang malam. Kadang secara bersamaan, kadang beramai-ramai karena sedang ada acara. Tapi lebih sering datang ke rumah mereka, satu persatu.
“Ah, kalian adalah orang-orang di masa lalu saya, yang sering saya dengarkan kisahnya, saya dengar keluh kesahnya, dan saya tulis untuk media tempat saya bekerja, ataupun saat menulis skripsi, tesis, dan buku,” kataku dalam hati.
Tapi entah kenapa kali ini suasana agak berjarak. Kami duduk berdekatan, tapi suasana hati seperti terpisah.
“Ini kok kita jadi kayak berbalas pantun sih,” kataku setengah bercanda, karena merasa kurang nyaman.
Saya paham, kedatangan tim ini tidak sesuai keinginan mereka. Bahkan dalam beberapa kali kontak telpon, Edi mengatakan, bahwa dirinya tidak akan banyak bicara. “Itu kan tim cuma ingin mensosialisasikan kalau negara mau menyelesaikan kasus ini secara non-yudisial,” kata Edi.
Untunglah, ketika salah seorang anggota TPP HAM, Prof Zainal Arifin Mochtar, membuka pembicaraan, suasana mulai mencair. Prof Zainal mengatakan, bahwa TPP HAM ini tidak menegasikan proses yudisial. Penyelesaian non-yudusial ini hanya agar para korban tidak jatuh berkali-kali. Sementara pengadilan HAM yang dituntut belum terwujud, hak-hak mereka baik sebagai korban dan sebagai warga negara tidak terpenuhi, bahkan terhambat.
Mulailah mengalir curhatan para korban, tentang suka duka mereka selama ini, apa saja yang sudah mereka lakukan, dan apa yang mereka inginkan. Aku pun sudah bisa tersenyum kembali.
Berkunjung ke Talangsari
Usai berdialog dengan para korban, kami mengunjungi lokasi Peristiwa Talangsari, di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Lampung Timur. Jaraknya sekitar 40 kilometer dari Siderejo, namun masuk ke lokasi melewati jalan yang belum beraspal.
Soal nama Talangsari ini, sebenarnya sudah lama diganti menjadi Dusun Subing Putera III, oleh pemerintah desa setempat, karena menimbulkan citra negatif bila nama itu masih ada. Nama desanya masih sama, yaitu Rajabasa Lama. Sementara nama kecamatan, dahulu masuk Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Tengah. Setelah pemekaran, Dusun Subing Putera III itu masuk dalam Kecamatan Labuhan Ratu, Kabupaten Lampung Timur.
Ketika melewati Pasar Way Jepara, saya tersenyum lebar. “Beruntung sekali saya ikut tim ini. Kalau tidak, bagaimana saya bisa melintasi daerah ini lagi,” kata saya.
Ya, saya tidak lagi menjadi jurnalis di media umum. Saya saat ini hanya mengelola media keagamaan, yang beritanya terbatas tentang organisasi dan syiar-syiar Islam. Tidak ada lagi kegiatan melanglang buana ke berbagai daerah untuk meliput seperti dulu.
Meski begitu, pada Oktober 2015 saya memang sempat ke daerah Lampung Timur ini, karena ada acara yang digelar oleh KPU Lampung Timur, di Desa Rajabasa Lama. Bila teman-teman lain usai acara langsung pulang ke daerah masing-masing, tidak halnya dengan saya, yang memutuskan menginap bersama keluarga. Ya Desa Rajabasa Lama, Lampung Timur, sudah seperti kampung sendiri. Setelah acara KPU itu selesai, saya berkunjung ke orang-orang yang sudah saya anggap sebagai saudara. Meski tak banyak lagi, karena beberapa sudah meninggal dunia.
Memasuki kawasan Talangsari III, lokasi peristiwa pelanggaran HAM berat tersebut, nyaris tidak yang berubah. Kawasan 1,5 hektare yang menjadi lokasi pengajian pimpinan Warsidi, masih ditanami singkong. Begitu juga kawasan sekelilingnya, seluas 3,5 hektare, yang dulunya juga milik Jayus (termasuk pemilik tanah lokasi pengajian Talangsari), masih dipenuhi tanaman singkong.
Gardu Siskamling, tempat Warsidi ditemukan tewas dengan leher terputus, juga masih ada. Hanya kondisinya sudah dibuat permanen, dibangun menggunakan semen. Kemudian ada bangunan yang mungkin adalah mushola, juga dibangun permanen, dan sebuah tugu tanpa tulisan di depannya. Menurut para korban yang tadi kami temui di Siderejo, tugu itu hendak dijadikan semacam memorabilia peristiwa Talangsari. Namun urung, karena dihalangi pemerintah setempat.
Saya dan Peristiwa Talangsari
Kenangan saya pada Peristiwa Talangsari memang begitu panjang. Bermula pada tahun 1995, saat saya aktif di pers kampus Teknokra, Universitas Lampung (Unila). Ketika itu sedang ramainya muncul istilah OTB alias Organisasi Tanpa Bentuk. Disebut-sebut PKI bangkit lagi. Lalu dikait-kaitkanlah fenomena itu dengan peristiwa Talangsari, yang dulu disebut sebagai GPK alias Gerakan Pengacau Keamanan.
Saya yang masih reporter awal, ditugaskan bersama empat orang rekan lainnya, yang semuanya laki-laki. Semua teman saya itu berperakan tinggi, kekar, dan rata-rata bertampang seram. Kata mereka, yang ditugaskan ke Talangsari adalah laki-laki yang kuat. Itu keputusan rapat. Tapi entah kenapa nama saya juga masuk daftar harus turun ke Talangsari itu.
“Ila kan laki-laki dan kuat. Dia harus ikut ke Talangari juga,” kata Pemimpin Redaksi Pers Kampus Teknokra ketika itu, Anton Bachtiar Rifai, yang sekarang masih bekerja menjadi produser di SCTV.
Kelakar Anton yang serius, lantas ditimpali oleh teman-teman lain di rapat itu. Intinya semua setuju, termasuk rekan yang empat orang itu—salah satunya adalah juru foto.
Sepertinya itu dibulan November 1995. Saya ingat, kami berangkat pagi-pagi, dan tidak sempat sarapan. Kami hampir semuanya anak kost (kecuali si juru foto), yang malas masak, dan belum ada warung buka. Hanya minum teh saat disuguhi di rumah Kepala Dusun Talangsari, Sukidi. Selain silit mencari warung makan, kami juga harus buru-buru pulang ke Bandar Lampung, naik ojek, oplet, dan bus sambung menyambung.
Sore hari jelang magrib, baru kami menemukan nasi, di sekitaran kampus Unila (hehe, maaf ya pemirsa. Nulis tentang kunjungan ke Talangsari, malah yang dibahas soal makan, hehehe).
Berikutnya, pada tahun 1998, usai kejatuhan Presiden Soeharto. Kak Anton, yang ketika itu mungkin sudah alumni, menghampiri saya, dan mengatakan kalau Teknokra perlu menulis tentang Talangsari lagi. Karena sudah ada pihak yang mengungkap kebenaran kasus tersebut, berikut data-data korban meninggal yang mencapai ratusan jiwa. Mereka adalah Komite Solidaritas Mahasiswa Lampung (Smalam).
Singkat cerita kami pun menulis lagi tentang Talangsari. Kalau tidak salah, posisi saya ketika itu sudah menjadi Pemimpin Redaksi di Teknokra. Selain data dan mewawancarai Komite Smalam, saya lagi-lagi berkunjung ke Talangsari.
Saya yang masih mahasiswa kemudian diterima bekerja di Majalah Tempo, sebagai koresponden Lampung. Ketika itu, Tempo terbit kembali setelah sempat dibredel pemerintah Orde Baru pada tahun 1994. Di Tempo, saya banyak menulis tentang Talangsari.
Saya juga bekerja sebagai redaktur politik dan investigasi di sebuah tabloid lokal. Ketika itu, sebagai dampak reformasi pula, sebanyak 16 narapidana politik Talangsari dibebaskan oleh pemerintah Habibie. Mereka kemudian diberi semacam kompensasi (ganti rugi), yang diberi nama “Ishlah”.
Saya pun menulis tentang ishlah itu di tabloid tersebut. Saya mewawancarai banyak korban, terutama yang di Lampung, tentang tanggapan mereka soal ishlah. Korban di Lampung rata-rata menolak ishlah, dan kekeh dengan penyelesaian melalui jalur pengadilan. Tulisan saya yang menjadi liputan utama di tabloid itu, terbit dengan judul,” Darah Ditukar Rupiah”.
Ternyata tulissan itu menimbulkan kegoncangan. Saya sungguh tak menyangka, karena saya “hanya” menulis di tabloid lokal. Yang saya rasakan kemudian, pimpinan tabloid itu menunjukkan ketidaksukaan pada saya, yang membuat saya tak nyaman lagi bekerja. Saya pikir, saya disuruh berhenti dari tabloid itu. Ya tidak masalah, karena toh saya masih ada Majalah Tempo. Dan saya juga masih berstatus mahasiswa, sehingga sepatutnyalah saya kembali ke kampus, untuk menulis skripsi (gleg, menulis kata “skripsi” terbayang dulu betapa stressnya saya hehehe– Lanjut aja dulu bacanya ya pemirsa).
Saat saya sudah tak berkantor lagi itu, seorang teman yang masih bekerja di tabloid itu mengabari saya, kalau media kami itu digugat oleh mantan Napol peristiwa Talangsari. Mereka keberatan dengan berita yang saya tulis.
Oh iya, saya menulis berita itu dengan dua orang tim reporter. Nah salah satu reporter itulah yang mengabari saya. Jadi bukan kerjaan saya sendiri tulisan itu, meski memang saya yang meramu hasil liputannya (namanya juga redaktur donk, bukan tukang sate, hehehe).
Saya kemudian mendapat kabar lagi, para mantan Napol akan bertemu dengan pimpinan tabloid kami. Waduh, saya kepo donk, pengen tahu isi pertemuan itu. Tapi bagaimana caranya agar saya bisa hadir, bisa-bisa saya jadi sasaran kemarahan. Apalagi pimpinan media kami juga sedang tidak suka dengan saya, dan status saya di media itu juga tidak jelas.
Akhirnya, saya dan dua orang reporter tersebut, memutuskan untuk datang diam-diam ke lokasi pertemuan, dan nguping pembicaraan mereka. Kami bisa nguping dengan sukses. Tapi, malah membuat jadi ngeri sendiri. Suara orang protes, berteriak-teriak, dan mengucap takbir. Apalagi saat itu, di tahun 1999, banyak sekali kejadian pelaku kejahatan dihakimi massa, sebagai dampak reformasi (aih, kami bukan pelaku kejahatan lho ya).
Saya dan dua reporter itu kemudian memutuskan untuk pergi, karena sepertinya pertemuan akan segera berakhir.
Saya kembali ke basecamp saya. Apalagi kalau bukan sekretariat pers kampus di Universitas Lampung. Meski sudah demisioner dari pemimpin redaksi, saya masih di situ, karena status saya masih mahasiswa. Posisi saya staf ahli.
Merenung-renungkan peristiwa siang tadi, saya lantas ingin melakukan sesuatu. Apalagi kalau bukan menulis. Ya, menulis kisah penggugatan tadi di Majalah Tempo. Maka segera saya menghidupkan komputer, mengirim usulan liputan untuk Rubrik Hukum Majalah Tempo, tentang adanya media yang digugat karena menulis tentang Kasus Talangsari.
Usulan saya disetujui Jakarta. Saya lantas mewawancarai pimpinan tabloid kami, via telepon. Bila saya datang menemuinya secara langsung, saya khawatir dia akan makin muak dengan saya. Apalagi medianya baru saja digugat.
Si pimpinan, mau tak mau menjawab pertanyaan wawancara saya. Mau apalagi, ya kan… meski bahasanya agak sinis, dan menyebut,” kami… kami…..” atas kasus tersebut. Berarti saya memang sudah tak dianggap lagi, pikir saya.
Sedangkan terhadap para saksi korban yang menggugat, saya mewawancarai kuasa hukumnya yang di Lampung, tempat kami nguping pertemuan itu. Para saksi korban yang datang itu memang bukan dari Lampung, mereka semua terlibat dalam peristiwa Talangsari yang berasal (berdomisili) dari Jakarta dan daerah lainnya.
Kalau tak salah, ada reporter dari Jakarta yang mewawancarai mereka. Saya lupa. Yang jelas, berita itu muncul dengan judul yang tak jauh berbeda dengan judul berita yang digugat: Darah Ditebus Rupiah.
Skripsi tentang Talangsari
Saya sudah sering sekali ditegur oleh dosen pembimbing skripsi, kapan akan segera menggarap skripsinya. Sudah lebih satu tahun judul saya di acc. Tapi kok gak jalan-jalan. Malah sibuk liputan dan liputan saja untuk Majalah Tempo.
Suatu hari saat hati saya sedang cerah, saya menemui dosen pembimbing, dan bertanya, apakah boleh saya menulis skripsi tentang menulis tentang Peristiwa Talangsari? Tadinya saya pikir akan kena damprat. Bagaimana tidak, sekian lama menghilang, malah pengen ganti judul.
Si dosen ternyata tersenyum lebar. “Bagus itu,” katanya. “Apa ajalah, yang penting kau cepat tamat,” katanya lagi. Waduh, kalimat terakhir ini pasti karena beliau hanya ingin jaga wibawa saja, menghadapi mahasiswa bandel seperti saya hehehe.
Saya katakan, bahwa saya sudah punya banyak data tentang Peristiwa Talangsari. Ada data dari Komite Smalam, hasil liputan di Majalah Tempo, hasil liputan di tabloid tersebut tadi (tak usahlah saya sebut namanya ya hehe), dan kontak dengan orang-orang yang mengetahui peristiwa itu.
“Ya sudah, segera bikin proposalnya. Pembimbingnya tetap saya dan Pak Nanang Trenggono,” kata dosen pembimbing 1 saya tersebut, yang bernama Syarief Makhya. Kelak Pak Syarief menjadi Dekan di FISIP Unila, sedangkan Pak Nanang menjadi Ketua KPU Provinsi Lampung.
Singkat cerita, aku pun larut dalam proses pengumpulan data. Sering menghilang, dan lama. Sampai Pak Nanang pernah menelpon ke kosanku segala. Aku sedang tidak ada. Sedang menemui para saksi korban di Tanjung Priok, Jakarta, dan bertemu dengan para korban yang tinggal di Solo. Hehehe. Proses menulis skripsi ini memang kujadikan moment untuk menuntaskan rasa penasaran atas kasus Talangsari.
Bila menulis untuk majalah Tempo, wilayah kerjaku hanya di Lampung. Untuk mewawancarai narasumber di Jakarta, Solo, atau daerah lain, ada petugasnya di daerah masing-masing. Dan karena untuk dimuat media, tentunya space-nya terbatas. Sedangkan untuk skripsi, mana ada batasannya kan. Itu saja saya menulis skripsi setebal 250 halaman. Saya senang, karena bisa bertemu dengan tokoh-tokoh yang terlibat dalam Peristiwa Talangsari, yang sangat paham bagaimana seluk beluk, ajaran, dan apa cita-cita besar mereka. Juga bisa riset berita-berita majalah Tempo saat peristiwa itu terjadi.
Kalau saja Pak Nanang tidak menegur saya, dan mengatakan,” Sudahlah, selesaikan saja dulu untuk skripsi. Nanti kalau tak puas juga, bisa kamu tulis lagi untuk tesis.”
Betul juga, pikirku. Selain orang tuaku di kampung sering bertanya kapan aku selesai kuliahnya, bos mu di Majalah Tempo juga sering bertanya kapan tamatnya, bisa-bisa proses ini tidak akan selesai. Karena peristiwa ini terus menggelinding, ke arah tuntutan agar kasusnya dibuka dan diselesaikan secara hukum.
Buku Talangsari 1989
Setelah wisuda pada Desember 1999, sebenarnya saya sudah begitu ingin skripsi saya itu diterbitkan menjadi buku. Tapi saya belum ada akses ke penerbit.
Saya sempat bertemu dengan Munir, aktivis HAM yang meninggal karena terkena racun arsenik itu. Kala itu Munir sebagai koordinator Kontras, datang ke Lampung, dan saya menyatakan hal tersebut. Ternyata Munir sudah membaca naskah saya, yang saya titipkan pada seorang teman di Jakarta.
Sampai kemudian saya bertemu dengan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Jakarta. Mereka sudah mengagendakan terbit pada awal 2002. Tapi tak kesampaian.
Dan saya ingat, proses akan terbit menjadi buku itu saya sudah bekerja keras, sekeras-kerasnya. Mengubah pola tulisan skripsi menjadi gaya populer. Meskipun skripsi saya juga gayanya tidak terlalu ilmiah, tapi tetap saja butuh perjuangan untuk menjadikannya sebuah tulisan menjadi buku. Yang jelas, saya harus lagi lagi dan lagi menambah data. Saya menemui korban-korban yang di Lampung. Dan lagi-lagi bertemu dengan korban yang tinggal di Jakarta dan daerah lain.
Saya sempat berusaha mencari penerbit lain. Ada penerbit yang setuju menerbitkan naskah saya, namun dengan syarat, biaya ditanggung bersama. Tawaran itu saya tolak. Saya merasa aneh saja ketika itu, sebagai penulis harus keluar dana untuk menerbitkan buku. Selain saya juga tak punya uang, tentunya.
Proses menerbitkan buku tertunda bertahun-tahun. Sampai kemudian di tahun 2007, saya mendapat angin untuk kembali menerbitkan buku itu. Mandiri saja. Tak perlu berharap ada penerbit yang mengongkosi. Perjalananku sudah kepalang tanggung. Saya juga sudah punya sedikit tabungan. Tujuan saya ingin menerbitkan buku itu kan sudah jelas, agar publik tahu bagaimana Peristiwa Talangsari itu sebenarnya. Saya lagi-lagi mengecek tulisan lama itu, menyesuaikan dengan konsidi terkini, dan lagi-lagi bertemu dengan para saksi korban.
Ketika itu, memang sedang ada pembentukan tim pro yustisia dari Komnas HAM untuk Peristiwa Talangsari. Mereka menemui para saksi korban keluarga untuk dimintai keterangan. Kedatangan Komnas HAM itu aku manfaatkan untuk terus melengkapi data. Selain tentunya untuk menulis di Majalah Tempo.
Peristiwa Talangsari memang banyak mendapat “perhatian” dari pemerintah pusat, khususnya Komnas HAM. Mereka kerap datang lokasi dan juga menemui para korban. Aku selalu hadir, sebagai seorang jurnalis, dan mungkin juga sebagai orang yang setia mengikuti kisah mereka.
Saat buku siap terbit, aku sempat mampir ke kantor LSPP, Jakarta. Ternyata mereka mau membantu proses penerbitan bukuku. Yaitu melayout dan mencarikan percetakan. Alhamdulillah. Dua hal itu sangat penting artinya, karena pada masa itu, mencari percetakan dan juru layout buku masih sulit.
Singkat cerita, bukuku pun terbit. Judulnya, Talangsari 1989, Kesaksian Korban pelanggaran HAM Peristiwa Lampung. Akan di-launching di kampus Universitas Lampung, oleh adik-adik pengelola pers kampus tempatku dulu aktif. Kebetulan saat itu statusku adalah mahasiswa pascasarjana Universitas Lampung. Jadi masih nyambunglah, masih menjadi civitas academika.
Aku mengundang para saksi korban yang berada di Lampung. Juga Jayus, pemilik lahan lokasi pengajian Talangsari, yang juga bisa dikatakan sebagai “tuan rumah” pondok pengajian di Cihideung itu. Jayus memang beberapa kali kuwawancarai untuk proses penulisan buku, maupun untuk liputan majalah Tempo.
Jayus adalah orang yang sangat spesial menurutku. Dialah yang membuka atau perintis pengajian tersebut pada tahun 1975, hingga kemudian kepemimpinan pondok pengajian diserahkan pada Warsidi. Jayus yang alumni dari Pesantren Gontor, Jawa Timur itu, bahkan menjadi anggotanya. Jayus menjadi salah satu narasumber pada peluncuran bukuku di kampus Universitas Lampung.
Jayus datang dari tempat tinggalnya, yaitu di sebuah kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan. Bila ingat Jayus, aku merasa sedikti berdosa. Karena tak pernah memberinya uang transport datang ke Lampung, hanya minta dia datang-datang saja (Begitulah aku, terlalu polos tentang arti sebuah perjuangan. Dan lagi-lagi, karena aku tak punya uang).
Selain Jayus, pembicara dan pembedah buku lainnya adalah Usman Hamid, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Syafruddin, Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, dan saya sendiri selaku penulis buku. Acara itu dimoderatori oleh Pemimpi Redaksi Radar Lampung, Ibnu Kholid.
Adik-adik dari pers kampus mempersiapkan acara itu sangat maksimal. Mereka mengundang dari berbagai instansi. Ada dari Kepolisian Daerah Lampung, Komando Resort Militer (Korem) 043 Garuda Hitam, Pemerintah Daerah, dan masih banyak lagi. Tentu saja organisasi di kampus Unila, serta organisasi kemahasiswaan di berbagai kampus di Provinsi Lampung.
Ketika datang pagi-pagi ke kampus Unila, aku lihat sudah banyak orang di sekitaran halaman belakang pusat kegiatan mahasiswa (PKM) Unila. Aku mencium aroma yang tidak enak. Sampai kemudian aku dibuat terkejut setengah mati, karena aku bertemu dengan para saksi yang berasal dari Solo dan Jakarta.
“Kami ke sini disuruh Pak Hendropriyono,” kata mereka. Jleb, rasa kagetku makin bertambah. Namun tak lama, aku langsung melempar senyum. Pak Hendro adalah mantan Komandan Korem 043 Garuda Hitam, yang memimpin penyerbuan ke Talangsari pada Februari 1989 itu. Beliau juga pernah menjadi Ketua Badan Intelinjen Nasional (BIN).
“Baik mas, baguslah malah semuanya bisa berkumpul di sini. Saya minta maaf tidak bisa mengundang kalian yang dari luar Lampung, karena kan perjalanannya jauh. Tapi kalau sudah pada datang dengan sendiri, alhamdulillah, terima kasih. Kalian semua adalah narasumber saya, mari kita semua ikuti acara ini,” kataku.
Aku tidak membayangkan akan terjadi keributan. Aku hanya kaget. Dan tidak menyangka saja mereka bisa tahu ada acara itu. Yah, mungkin informasinya sudah sampai ke Jakarta.
Aku kemudian duduk di kursi peserta, dibawah taruf yang sudah dibangun. Para tamu mulai berdatangan. Dan terus berdatangan. Tapi banyak tamu-tamu itu yang hanya berdiri di belakang dan samping-samping taruf. Kalau mereka undangan, mengapa mereka tidak duduk di kursi peserta, pikirku. Dan mereka jelas bukan mahasiswa, dari segi usia dan penampilan (hehehe, tebak aja sendiri ya pemirsa).
Teman-teman jurnalis baik cetak maupun televisi pun berdatangan. Aku senang sekali. Aku merasa mendapat support dan merasa nyaman dengan kehadiran mereka, karena merasa ada teman hehe. Aku waktu itu masih bekerja di Majalah/Koran Tempo dan juga Metro TV. Itulah kenapa banyak teman wartawan televisi yang datang. Walaupun aku tidak yakin mereka adakan mendapat berita dari kegiatan ini. Masa iya acara bedah buku bisa masuk liputan televisi nasional, pikirku.
Pandanganku terus menatap orang-orang yang berdatangan, seksi acara membuka acara, hingga kemudian aku dipanggil disuruh naik ke panggung bersama pemateri lainnya.
Saat acara dimulai, setelah pembacaan puisi tentang Talangsari oleh Paus Sastra Lampung, Isbedi Setiawan, diskusi pun dimulai. Dimulai dari saya sebagai penulis. Setelah itu, mungkin Usman. Yang jelas, sempat terjadi sedikit kericuhan dalam acara tersebut, antara korban yang berasal dari Lampung dengan yang dari Jakarta (sudah menyatakan ishlah). Ada teriakan-teriakan. Ada yang saling memeluk.
Mau tahu perasaan saya? Full campur baur. Senang karena buku akhirnya bisa terbit, acara peluncuran yang sempat bikin bingung karena gak ada dana, dan rasa sedih menyaksikan antara para korban yang saling tak bersepaham. Sepertinya sempat ada air mata saya yang menitik. “Ya Allah, aku ingin acara ini baik-baik saja,” kataku dalam hati.
Akhirnya acara dapat dikendalikan, dan diteruskan. Selesai acara, para saksi korban kemudian datang ke redaksi surat kabar Lampung Post dan Radar Lampung. Saya lupa, siapa yang berinisiatif datang ke media itu. Yang jelas kami mendapat kabar, saksi korban yang “datang dari jauh itu” sudah lebih dahulu datang ke dua media mainstream di Lampung tersebut.
Esoknya, ternyata berita tentang peluncuran bukuku itu menjadi headline di Lampung Post dan Radar Lampung. Dulu media harian belum seramai sekarang, yang mainstream sepertinya baru dua itu. Belum ada juga media online. Berita peluncuran buku itu ternyata juga masuk ke media nasional dan media televisi.
Diskusi buku Talangsari dilanjutkan di tempat lain. Di kampusku FISIP Unila, dan kantor Kontras Jakarta. Aku ingat, dulu ada juga Ormas tingkat nasional mengundang saya sebagai pemateri untuk diskusi buku itu. Tapi kemudian dibatalkan, katanya nanti akan dihubungi lagi.
Akan halnya saya, karena saat itu sedang kuliah pascasarjana di Fakultas Hukum Unila, saya menulis tesis (melanjutkan) Peristiwa Talangsari. Bila pada skripsi saya menulis tentang pelanggaran HAM dan memaparkan seperti apa kasusnya, pada tesis saya mengangkat tentang peluang pengadilan HAM-nya. Salah satu sumber saya adalah Komnas HAM, saat mereka datang ke Lampung, maupun saya sengaja datang ke Jakarta.
Begitulah, panjang cerita saya tentang Peristiwa Talangsari Lampung. Terima kasih bagi yang sudah membaca sampai selesai.
Fadilasari
Penulis Buku Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung