Menjadi Komisioner Itu adalah Pilihan
Maksud judul di atas, bukanlah soal pilihan hidup. Sekilas memang seolah bermakna, menjadi komisioner sebuah lembaga, adalah pilihan atau jalan hidup yang dipilih seseorang. Untuk mengabdikan hidupnya, pada lembaga yang dipilih.
Aih, tidak semulia itu ferguso.
Menjadi komisioner sebuah lembaga, di negara Konoha ini, sudah diatur dan ditetapkan, siapa yang akan jadi, dan siapa yang akan terpilih. Sudah diatur di awal siapa calon utama, siapa calon pendamping, dan siapa calon cadangan, dan siapa-siapa yang hanya menjadi penggembira saja.
Siapa yang mengatur? Nah ini rahasia ya. Intinya, mereka adalah orang-orang yang berkuasa. Di balik layar. Iya, dibalik layar. Bukan timsel alias tim seleksi yang melaksanakan semua tahapan seleksi. Mereka sudah ada semacam perjanjian dengan yang di Pusat, bahwa yang akan jadi adalah nama-nama yang mereka sodorkan.
“Saya kan harus menjadikan orang, yang menjadikan saya (timsel),” kata seorang timsel, saat aku ikut seleksi komisioner di tahun 2023.
Saat itu, aku tak hendak melobinya. Hanya bertemu saja, tanpa sengaja di lokasi tes. Karena berpapasan, aku menyalami dan mengenalkan diri.
Aku tahu, ia sudah mengenalku sebelumnya. Dan supaya tak garing, acara bersalaman pun ditambahi dengan kata-kata yang mungkin saja kocak.
“Saya titip diri saya ya,” kataku.
Dan jawabannya tak diduga, seperti kutulis di atas. Ketika ia mengucap itu, aku tidak paham apa maksudnya. Iya, aku tidak paham, dengan kata “yang menjadikan saya”.
Pertarungan memang seru. Aku yang hanya mengandalkan “modal belajar” belakangan menyadari, aku sebenarnya hanyalah calon penggembira. Menggembirakan proses kontestasi. Karena dengan hadirnya aku, seolah-olah proses seleksi yang demokratis, fair, dan jujur itu sudah berjalan.
Aku pernah menjadi penyelenggara pemilu, yang disebutkan diproses seleksi, bahwa menjadi orang yang sudah berpengalaman. Nilaiku tinggi. Saat tes CAT, nilaiku masuk dalam 5 besar. Mengalahkannya para petahana yang juga sedang itu bertarung.
Bahkan saat hasil akhir seleksi di timsel, untuk mengikuti uji kepatutan dan kelayakan, salah seorang timsel menyatakan bahwa nilaiku adalah tertinggi.
“Kamu bawa badan aja ke Jakarta, pasti lulus,” katanya meyakinkan.
“Nilai Mba Ila bagus, sangat bagus sekali,” kata timsel lainnya. Seorang perempuan. Ia kecewa karena aku, perempuan satu-satunya yang masuk 8 besar, gagal dan tidak masuk dalam 4 besar yang jadi komisioner.
Keberadaanku sebagai seorang perempuan dalam uji kelayakan dan kepatutan itu, seolah-seolah menyatakan bahwa proses itu juga mengakomodir keterwakilan perempuan. Dari 8 orang yang dinyatakan lolos dan berhak mengikuti uji kelayakan dan kepatutan (fit and profer test), memang hanya aku yang perempuan.
Publik ketika itu sudah berkeyakinan, bahwa aku pasti jadi. Sebab, komisioner Bawaslu yang sudah ada dan terpilih tahun lalu, 3 orang laki-laki semua. Saat itu seleksi menuai protes keras dari kalangan perempuan, mengapa tidak satu pun calon perempuan yang diloloskan dan mengikuti fit and profer test.
Dan kemudian, yang lolos adalah orang-orang yang sudah diatur untuk lolos. Diperjuangkan dengan segala cara. Pokoknya bagaimana pun harus lolos. Digendong, digotong, pokoknya harus jadi.
Aku sempat bertanya pada salah satu timsel, kenapa tidak ada perempuan yang lolos untuk mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di Jakarta.
“Si Mawar (sebut saja begitu namanya), tidak menghendaki ada perempuan yang jadi. Dia takut mengganggu pencalonan adeknya,” katanya. Mulanya aku juga tak paham apa maksud si timsel. Rupanya, Mawar adalah orang yang menjadikan dirinya timsel. Dan keberadaannya adalah untuk menjadikan adik si Mawar, seorang laki-laki.
Berikutnya, saat aku mengikuti seleksi komisioner di tahun 2024. Niatnya memang coba-coba saja. Katanya kan Tuhan tidak mengubah nasib, bila kita sendiri tidak mengubahnya. Dan aku terkejut, ketika seorang teman, yang juga ikut seleksi mengatakan, bahwa pihak-pihak yang mengatur seleksi KPU ini, sama dengan Bawaslu kemarin.
Walah… Jelas tidak berpihak padaku donk, pikirku. Tapi tak apalah, tetap kucoba.
Aku sempat bertanya dan minta pendapat dengan beberapa senior di organisasi.
Sebagaimana sudah menjadi rahasia umum, komisioner terpilih adalah “utusan” organisasi-organisasi tertentu. Tapi orang-orang yang terpilih, sebenarnya bukan mewakili organisasi itu. Hanya “mewakili” orang-orang dari jaringan organisasi itu, yang bisa mengatur-ngatur proses di balik layar.
Para senior itu menyatakan percuma saja aku ikut seleksi.
“Gak usah, nyapek-nyapekkan badan saja,” katanya.
“Seleksi ini kan bukan pintar-pintaran. Tapi kepentingan orang,” kata yang lain lagi.
“Susah mau terpilih. Mending cari kegiatan apa situ sih,” ujar yang lain lagi.
Bener², pikirku. Tidak ada yang menyarankan, kalau dari jalur seorganisasi. Berbeda dengan teman-teman di luar organisasi, yang mendorongku untuk ikut.
“Daftar saja dulu, sambil berjuang,” katanya.
“Coba lakukan pendekatan, dengan si A, B, atau C. Masa gak bisa sih, kaliankan satu ormas,” kata sahabat yang lain lagi.
Ya sudahlah, kucoba saja. Aku ikut jalur resmi saja. Yaitu yang lurus mengikuti seleksi saja. Tidak pakai bayar-bayaran. Lagian, siapa pula yang mau minta uang ke saya, pikirku haha.
Sebenarnya, pada seleksi kali itu, aku sudah berusaha melakukan lobi-lobi. Atas saran dan petunjuk seorang senior yang mau membantuku. Inilah pengalaman pertamaku, sepanjang beberapa kali ikut seleksi. Bertemu dengan timsel, sebelum mendaftar seleksi. Menghubungi beberapa orang yang berkuasa atas pelaksanaan seleksi itu. Dalam bahasa yang tersurat, mereka mendukungku.
Singkat cerita, dari hasil CAT, aku meraih nilai tertinggi. Iya, tertinggi.
“Wah, mbak pasti masuk nih,” kata seorang peserta.
“Belum tentu juga,” jawabku.
“Lho, itukan kita seruangan mana ada yang nilainya lebih tinggi dari Mbak,” katanya.
“Maaf, Bapak dari mana ya?” tanyaku.
“Saya dari Sukarame,” katanya, menyebut nama salah satu Kecamatan di Kota Bandar Lampung.
“Kerjanya apa?” tanyaku lagi.
“Kontraktor.”
“Waduh. Pantes gak paham. Ini yang menentukan orang-orang yang ngatur di belakang timsel Pak,” sahutku.
“Semacam ormas begitu ya Mbak?” tanyanya, lugu. Lugu, tapi kok bisa menebak.
“Ya sebangsa itu,” sahutku, sambil meninggalkan si bapak yang kebingungan menatapku.
Dan ternyata benar. Meski nilaiku tertinggi, aku tidak lolos di seleksi tertulis itu. Nilaiku jatuh (dijatuhkan) di esai. Diberi nilai 38.
Lhadalah. Ada-ada saja. Kok bisa aku meraih CAT 60, tapi bloon di esai. Lantas, mereka yang nilai CAT-nya 30 dan 40 an dan dinyatakan lolos, itu bagaimana ceritanya bisa meraih nilai esai 85 an ke atas?
*****
“Seleksi itu memang politis. Alias untuk kepentingan politik,” kata seorang teman yang juga gagal, beberapa bulan kemudian.
Dia bercerita, diawal-awal memang dirinya ditawarkan untuk mendaftar. Dan sudah menyerahkan sejumlah uang. Untungnya, uangnya bisa kembali, karena dia termasuk “manusia yang ganas” hehehe.
“Itu si Melati (sebut saja begitu), dibalikin gak uangnya. Udah ikut seleksi sampai ke fit and profer test, di Provinsi dan Kota pula?”
“Mana kutahu,” sahutku. Tahu kalau ada bayar-bayar sejak awal, ya dari dia inilah.
Pada kesempatan lainnya, aku bertemu dengan si Melati. Dia mengatakan nasibnya sama dengan aku, sampai tahap akhir tapi gagal.
“Halah, kalau saya kan cerita lama. Kalau yang barusan ini, diujian tertulis tahap awal aja, saya sudah digunting,”jawabku.
Seorang teman, yang merupakan pengurus partai politik, lantas berkata,” Semua itu pakai uang, Ila. Kalau lu udah ngasih 250 juta, baru “barang” itu jalan,” katanya.
“Hah, begitu kah?”
“Terus Melati ini bagaimana, bisa sampai tahap akhir. Udah ngasih uang segitu tah?”
Kulihat Melati menunduk dalam-dalam. Kok jadi melempem begitu, pikirku. Bukankah dia yang mulai membuka pembicaraan tema itu. Kami semua saat itu, sedang berkumpul dalam rangka silaturahmi lebaran.
“Ya susah kalau begitu ya. Kemarin saja saya di Komisi Nginformasi cuma dimintain 30 juta di tahap akhir, gak kukasih. Saya gak berani yang begitu-begitu,” kataku.
“Ya memang susah. Gak bisa. Harus ada uangnya,” tegas si teman yang mengatakan biaya 250 juta itu. Menurutnya, itu angka yang tidak pasti. Bisa lebih banyak.
Waduh.







