Seleksi Bawaslu: Demokrasi Substantif, Sinten dan Pinten
Pemilu sebagai bentuk kongkrit demokrasi
Sudah lama tidak membahas tentang demokrasi substantif. Maklum, saya bukan lagi penyelenggara pemilu. Bukan juga mahasiswa atau penulis yang tengah menggeluti tentang demokrasi. Tapi makna demokrasi substantif, selalu melekat di hati.
Makanya ketika seorang senior, atau lebih tepatnya dosen saya dari Universitas Lampung menelpon beberapa hari lalu, menyebut demokrasi substantif, saya langsung tercenung.
“Bila sistem seleksi penyelenggara pemilu masih seperti ini, kapan demokrasi substantif itu akan terlaksana,” katanya.
Saya sebenarnya sudah enggan membahas tentang seleksi Bawaslu beberapa waktu lalu. Biar-biar aja. Kalau saya masih membahas dan juga menulis-nulis perihal seleksi tersebut, saya pasti akan dituding belum siap menerima kenyataan. Tidak siap kalah. Atau dalam bahasa anak muda sekarang: belum bisa move on.
Justru saya ingin cepat move on. Sejak awal saya ikut seleksi, sudah saya camkan dalam hati untuk nothing to lose saja. Alias tanpa beban. Biar mengalir saja, sampai di mananya. Itulah salah satu alasan saya membuat tulisan “Cerita Keterwakilan Perempuan dalam Seleksi Bawaslu Provinsi Lampung” beberapa waktu lalu. Biar semua (cepat) lepas.
Saya juga sudah membuat tulisan yang mengusulkan agar Pasal yang mengatur tentang Keterwakilan Perempuan dalam Seleksi Bawaslu itu dihapuskan saja, karena memang tidak berguna. Pasal yang justru melemahkan perempuan. Tulisan itu bisa diklik di sini ya.
Saya malas ditanya-tanya. Saya malas menjelaskan pada semua orang yang bertanya, karena itu pasti sangat melelahkan. Jadi kalau ingin tahu prosesnya dari sisi saya, silakan baca tulisan saya tersebut. Tapi bukan berarti saya sama sekali tidak ingin berkata-kata lagi di luar tulisan itu. Saya akan tetap menjawab, bila si penanya sudah membaca tulisan saya tersebut.
Supaya penjelasannya tidak mulai dari nol. Sekalian promosi tulisan di blog saya itu, tentunya. Dan memang pembacanya cukup banyak. Di luar ekspektasi saya. Bahkan sempat dipublish di media cetak mainstream segala. Tulisan itu juga tadinya hanya saya share di group internal alumni kampus.
Selebihnya beberapa orang saya japri, yang menurut saya perlu, karena dalam proses kemarin meskipun saya bisa dikatakan jarang bertemu orang dan kumpul-kumpul, banyak teman yang men-chat saya mengucap selamat atas kelulusan di setiap tahapan. Dan mereka semua nyaris menghilang ketika pada tahap akhir nama saya tidak lagi muncul. Baiklah, saya kirim tulisan itu saja ke mereka, sekalian tetap menyambung silaturahmi.
Kembali ke soal demokrasi substantif tadi. Setelah terdiam sejenak, saya berkata,” Saya juga sebenarnya sempat memikirkan itu Pak. Tapi melihat kondisi ini, sepertinya demokrasi substantif yang kita harapkan sejak awal masa reformasi lalu, baru akan terjadi 30 tahun mendatang.”
“Heh, lama sekali. Kok 30 tahun sih, kita semua sudah mati,” jawab si bapak dosen setengah meradang.
“Tenang Pak, kan masih ada anak cucu kita,” jawab saya dengan nada serius.
“Setidaknya harapan saya, dunia ini jangan dulu berakhir. Tapi terjadilah dulu demokrasi substantif itu,” kata saya lagi.
Bagi pembaca yang belum tahu apa itu demokrasi substantif, artinya kira-kira begini. Demokrasi substantif yaitu keterlibatan rakyat dari semua golongan, sesuai makna demokrasi dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi ini melihat pada substansinya yakni penggunaan prinsip-prinsip demokrasi seperti pengakuan atas hak sipil sebagai pelaksanaan demokrasi. Bukan hanya sekedar slogan. Bukan hanya melibatkan atau terdampak pada kelompok masyarakat tertentu saja. Atau bisa dikatakan demokrasi dalam pengertian sebenarnya.
Lawan dari demokrasi substantif adalah demokrasi prosedural. Atau demokrasi yang menekankan pada tahapan pelaksanaannya saja. Demokrasi prosedural berarti melihat demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang menekankan prosedur pelaksanaan demokrasi itu.
Dalam pemilu, misalnya, asal melaksanakan sesuai dengan tahapan yang sudah dibuat, maka dianggap sudah demokrasi. Pemilu terlaksana, hasilnya ada, maka dianggap sudah menjalankan demokrasi. Kita tahu, pemilu adalah bentuk paling kongkrit dalam melaksanakan demokrasi, karena di situ kita memilih pemimpin yang duduk di eksekutif dan legislatif di semua tingkatan.
Alasan saya menyebut 30 tahun lagi, karena memprediksi menuju substansial itu tidak mudah. Saya sepakat, substansial memang harus didahului oleh prosedural. Tapi apalah artinya bila substansinya belum juga terlaksana.
“Saya teringat dulu saat kuliah di FISIP zaman orde baru Pak. Banyak pelajaran yang harus kami hapal, analisis, diskusi dan perdebatkan, tapi itu semua aturan-aturan ideal, yang tidak dapat diterapkan dalam sistem pemerintahan kita. Misal belajar teori tentang birokrasi yang bersih, kebebasan berpendapat, tapi kita tahu bagaimana situasi saat itu. Aturan hanya di atas kertas dan bahan perkuliahan saja,” kata saya kemudian.
Saya heran, kenapa si bapak dosen yang jadi terdiam. Padahal saya sebenarnya hanya menerka-nerka. “Tapi bisa saja Pak, tidak sampai 30 tahun. Kalau kita semua, orang-orang lama yang dulu suka berdiskusi, bisa bergerak kembali dan tidak hanya menjadi pengamat,” tambah saya.
“Ya begitulah, memang sulit,” mulai terdengar suara si bapak dosen. “Saya juga kemarin sempat berbincang lama dengan pihak pengambil keputusan dalam seleksi Bawaslu tempo hari. Ternyata syarat untuk terpilih itu sebenarnya ada dua, yaitu Sinten dan Pinten,” katanya.
Giliran saya yang terperanjat. “Apa?” kata saya. Meskipun saya bukan orang Jawa, tapi setidaknya saya pernah membaca arti dari kata berbahasa Jawa halus itu.
“Eh tapi Pak, kalau sinten kan, bisa dijelaskan siapa saya,” kata saya beberapa saat kemudian.
“Tapi Sinten itu bukan bermakna siapa dia, bagaimana kompetensi atau track record-nya.”
“Lho, memangnya apa?” Saya menjadi penasaran.
“Sinten itu siapa yang bawa, kepentingannya siapa.”
“Hah…” saya mengucap istighfar sampai berkali-kali. Ponsel saya pegang erat-erat, khawatir terjatuh karena terkejut. Akan halnya soal Pinten, saya kira saya paham, tak perlu dijelaskan lagi. Saya sudah bisa menerka-nerka. Sesuatu yang saya tidak akan masuk kriteria.
Setelah berbincang beberapa kalimat, dosen saya itu pamit hendak mengakhiri obrolan.
“Nanti kita lanjut lagi ya, saya ada kelas sekarang. Nanti kita ketemu saja, dengan yang lainnya juga,” katanya menutup pembicaraan.
Untuk yang penasaran ceritanya, semoga nanti ada cerita lanjutan ya hehe. Atau bisa juga tulisan saya







