Cara Menghadapi Anak Yang Ingin Pindah Sekolah

Cara Menghadapi Anak yang Ingin Pindah Sekolah
Biasanya, anak pindah sekolah itu karena mengikuti orang tuanya yang pindah kerja. Atau, kalau zaman dulu (entah sekarang masih atau tidak), bila anak tidak naik kelas, maka orang tua akan memindahkan sekolahnya.
Tapi sekarang, anak bisa saja pindah sekolah karena tak merasa cocok dengan “iklim” di sekolah yang lama. Ini terjadi pada anak keduaku, Fiorenza. Tadinya kami pikir menyekolahkannya di TK dekat rumah adalah pilihan tepat. Selain supaya tak susah antar jemput, kami pikir Fio bisa berangkat dan pulang sekolah sendiri, karena sekolah itu berada di areal perumahan kecil ini.
Fio pun amat bersemangat untuk sekolah disitu. Ketika kami masih proses dalam membeli rumah yang sekarang kami tempati, Fio sudah beberapa kali bolak balik ke TK itu, membayar uang pendaftaran, membayar DP masuk sekolah, dsb.
Ketika awal masuk sekolah, Fio makin bersemangat. Tapi, dia menangis ketika kutinggal diam-diam ke kantor. Hingga esok harinya aku harus menungguinya belajar selama satu jam, baru kemudian kutinggal ke kantor, ketika kakaknya datang untuk gantian menungguinya (kakaknya masih libur ketika TK itu sudah masuk). Tadinya kami pikir itu wajar, karena Fio baru masuk sekolah. Apalagi teman-teman Fio juga banyak yang seperti itu, ditunggui ibunya, bahkan beberapa ibu sampai ikutan duduk di dalam kelas.
Namun dari hari kehari, Fio bukannya makin berani di sekolah. Sepertinya dia makin drop. Saat jam pelajaran, dia kerap menangis. Tadinya kami pikir ini juga masih biasa. Si Fio ngalem, maklum anak bungsu. Papanya bahkan menyalah-nyalahkan aku, yang dinilai terlalu memanjakan anak, sehingga dia tak mandiri.
Ketika suatu hari aku menunggui Fio saat berbaris, seorang ibu menyapaku. Dia mengatakan, Fio sering menangis di kelas. “Tapi hebatnya Fio walaupun menangis, kalau ada ibu guru mengajukan pertanyaan, dia selalu angkat tangan untuk menjawab. Begitu pun bila bu guru bertanya siapa yang bisa menulis jawaban di papan tulis (white board), dia maju ke depan. Dia bisa menulis atau menjawab pertanyaan dengan benar. Anak lain, kalau menangis, ya nangis aja. Mana kepikir pelajaran lagi,” tuturnya.
Aku tertawa membayangkan Fio belajar sambil menangis. Aku pernah pula melihat Fio maju ke depan kelas sambil bernyanyi balon ku ada lima, tapi air mata deras mengalir di pipinya. Entah apa yang ditangisi si Fio. Tapi.. keberaniannya untuk maju itu lho. Membuat aku jadi tersenyum-senyum sendiri.
Banyak kejadian di sekolah itu yang membuat Fio drop. Tadinya, Fio hanya minta ditunggui sampai masuk ke kelas. Ada adegan yang selalu membuat dia ketakutan, yaitu “duduk di karpet”, berkumpul sedengan 100-an lebih anak di TK itu. Dia bilang takut, karena rame orang, dan ngeri karena banyak ibu-ibu teman sekolahnya yang pada mengerubungi. Dia minta ditunggui juga, seperti temannya yang lain.
Tapi belakangan, di dalam kelas pun Fio minta ditunggui. Nah, kalau itu, aku angkat tangan. Aku kan harus ke kantor. Papanya pun tak bisa menunggui terus-terusan.
Fio kerap mogok sekolah. Kalau sudah hari minggu petang, dia yang tadinya ceria, langsung murung. Mukanya sedih. Kalau ditanya, dia bilang, alangkan sedikit hari liburnya, hanya dua hari (Sabtu-Minggu), dan besok harus sekolah. Minggu malam, dia gelisah susah tidur. Esok paginya, dia malas bangun dari tempat tidur, malas sekolah, dan bila dipaksa malah berurai air mata.Aku melihat ada gejala yang aneh. Kami tahu, Fio bukanlah seorang yang pemalu. Dia sudah biasa mandiri. Sejak usia empat bulan, dia sudah sering dititip di tempat penitipan anak (day care). Bahkan, ketika dia berusia 3 tahun, kami hanya menurunkannya dari mobil, dan dia berjalan kaki sendiri menuju day care-nya yang harus masuk ke gang sejauh 300 meter. Kami tidak boleh mengantar, karena dia malu diantar, dan merasa sudah besar.
Sementara papanya menilai ada yang salah dengan Fio, aku justru merasa “ada yang salah” dengan sekolahnya. Ketika hari pertama mengantar Fio sekolah, aku merasa ada yang tak nyaman. Hari demi hari, aku melihat gejala itu, yang tak bisa diungkap dalam tulisan ini (hehe). Sampai kemudian ketika Fio memaksa papanya harus menunggui dia sampai pulang sekolah, papanya “duduk manteng” di depan toilet dekat dengan kelas Fio.
Disitulah papanya melihat, banyak kejanggalan dalam pola pengajaran di sekolah itu. Soal materi dan pola pembelajaran, adab guru saat mengajar, dsb. Bahkan saking kesal papanya ketika itu, dia melaporkan kelakuan sang guru ke pihak yayasan di sekolah itu.
Setelah kejadian itu, tekad papanya semakin bulat untuk memindahkan si Fio sekolah. Alasannya: kasian Fio yang selama ini kami nilai cerdas (usia empat tahun sudah bisa membaca dan mengaji hingga Iqro 5), khawatir mentalnya hancur dan merusak perkembangannya.
Dari pengalaman itu, aku ingin berbagi tips ketika hendak memindahkan anak sekolah.
- Pastikan apa masalah si anak mogok sekolah
Orang tua perlu tahu, apa yang membuat anak yang biasanya aktif, menjadi ketakutan saat di sekolah. Untuk mengetahui itu, orang tua bisa bertanya langsung pada sang anak. Bertanya pada anak dapat dilakukan beberapa kali, untuk mengetahui konsistensi jawabannya. Bila pula minta tolong teman atau keluarga lainnya untuk bertanya pada si anak, apakah jawabannya sama dengan jawaban ketika orang tuanya yang bertanya. Saat bertanya pada anak, buatlah anak dalam kondisi rileks, misal dengan mengajaknya jalan-jalan atau bermain. Orang tua juga harus bisa meluangkan waktu untuk mengamati polah anak di sekolah, guna menyelidiki atau menguji jawaban si anak. - Bila anak bermasalah dengan teman.
Bila pengakuan anak dan berdasarkan penyelidikan orang tuanya anak bermasalah dengan teman, laporkan pada guru, agar guru bisa berperan dalam hal ini. Orang tua jangan menyelesaikan sendiri, karena bisa menimbulkan masalah dengan orang tua si teman. - Bila anak bermasalah dengan gurunya.
Ini memang lebih rumit, karena anak yang takut dengan guru, bisa menekan mental si anak. Proses belajar boro-boro menyenangkan, justru menakutkan. Orang tua bisa meminta bantuan pihak sekolah/yayasan, agar anak dipindahkan ke kelas yang lain. Tentu saja langkah ini harus dilakukan secara hati-hati, karena khawatir “mempermalukan” si guru, yang juga dapat berdampak pada anak saat berada di sekolah. - Beri waktu anak untuk menyelesaikan masalahnya
Orang tua manapun pasti tak ingin anaknya buru-buru pindah sekolah. Khawatir bisa berdampak pada proses adabtasi anak yang harus dimulai dari awal, membutuhkan biaya lagi masuk ke sekolah yang baru, dan belum tentu pula sekolah yang baru lebih baik dari yang sekarang. Buat anak senang di sekolahnya. Misalnya dengan memberinya uang dalam jumlah yang lebih besar (bila ada) untuk menabung di sekolah, menjanjikannya hadiah bila di sekolah tidak menangis, dsb. - Bila anak bermasalah dengan sistem pengajaran di sekolah
Pola pengajaran di sekolah bisa membuat anak ketakutan, bahkan frustasi. Untuk hal yang ini, coba bicarakan baik-baik dengan pihak sekolah, mungkinlah metode itu bisa dirubah. Tapi sebelumnya berkomunikasi dahulu dengan orang tua lainnya, apakah anak-anak lain juga bermasalah dengan pola pembelajaran itu, seperti halnya dengan anak kita. Lihat apakah pihak sekolah welcome atau tidak dengan masukan yang kita berikan.
Trik memindahkan anak sekolah
Ketika semua cara dicatas sudah ditempuh, tapi anak masih juga mewek atau mogok sekolah, maka tak ada jalan lain, si anak harus dipindahkan sekolahnya. Hal ini perlu dilakukan agar proses belajar tetap berlanjut, dan si anak tidak drop dalam melakoni proses itu.
- Survei dahulu, di sekolah mana anak akan dipindahkan.
Survei dimaksud untuk mengetahui bagaimana pola pembelajarannya, teman-teman, guru, dsb, intinya agar masalah yang membuat anak pindah sekolah tak terjadi di sekolah yang baru - Survei pula berapa uang masuk di sekolah itu
Sekarang biaya masuk sekolah itu mahal. Kecuali sekolah negeri ya. Pernah seorang temanku bercerita, anaknya sudah masuk di sekolah SMP favorit dengan biaya Rp 9,5 juta. Ternyata si anak tak kerasan, dia ingin pindah ke sekolah negeri yang banyak teman-temannya. Untuk memindahkan itu, meski hanya mengeluarkan biaya Rp 1,5 juta, berarti orang tua anak itu sudah kehilangan Rp 9.5 juta yang pertama kan. Sebaliknya si Fio, di TK pertama kami membayar uang masuk Rp 3 juta, sedangkan di sekolah yang baru kami harus membayar Rp 7 juta. - Pastikan kita mampu membayar di sekolah yang baru.
Tanyakan pada pihak sekolah yang akan dituju, apakah pembayaran bisa diangsur. Ini penting, karena kalau biayanya mahal, kita juga tidak bisa sok-sokan untuk bisa membayar. Apalagi sebelumnya kita sudah keluar uang untuk selolah di tempat lama. Kalau bisa nganggur di sekolah yang baru, tentu lebih baik daripada berhutang dengan teman ataupun keluarga sekalipun kan. Perlu juga diperjelaskan, angsuran bisa dibayar berapa kali, tiga kalikah,atau dua kali. Di beberapa sekolah (TK) pembayaran uang masuk bahkan ada yang bisa diangsur hingga habis satu semester (hingga bulan Desember). - Perlu mencari tahu, apakah ketika anak pindah di sekolah yang baru, dia tidak ketinggalan pelajaran. Bila tertinggal, bagaimana cara mengejarnya.
- Temui pihak sekolah/yayasan, bisakah anak kita ikut belajar terlebih dahulu satu atau dua hari, untuk mengukur kecocokannya. Dalam kasus Fio, dia bahkan bisa ngikut sekolah selama tiga hari, untuk memastikan dia cocok di sekolah itu. Kami harus “menguatkan hati” untuk belum membayar alias menahan malu, agar jangan salah pilih lagi. Padahal, Fio ini pindah TK ke group sekolah kakaknya (kakaknya sudah kelas 4, tapi tidak di TK itu), yang artinya kami sudah yang sudah sering melihat pola pengajaran di sekolah itu saja, masih agak ragu untuk langsung memindahkan si Fio. Meski kejadiannya bisa saja tidak sama dengan Fio, orang tua tetap harus berusaha “melobi” pihak sekolah/yayasan agar anak diberi kesempatan belajar secara free palig tidak selama satu hari. Komunikasi yang baik mudah-mudahan membuahkan hasil yang baik. Apalagi sekarang sekolah-sekolah yang favorit, cenderung membuka komunikasi yang baik dengan orang tua siswa.







