Sakit Perut Bawah Bagian Kanan, Benarkah Usus Buntu?


Ketika anak bungsuku Ayesha (5 tahun) dirawat di rumah sakit pada awal Mei 2025 lalu, dokter menyatakan ia diduga menderita penyakit usus buntu. Harus segera dilakukan pembedahan.

Sebelum terlambat, yaitu sebelum usus buntunya pecah yang akan menimbulkan dampak sangat serius.

Usus buntu? Apa pula ceritanya. Dan kok bisa begitu?

Bukankah saat memutuskan Ayesha harus rawat inap, dokter di IGD rumah sakit menyatakan Ayesha terkena Broncho Pneumonia (BP). Badannya panas tinggi, menggigil dan sempat kejang, sesak napas, serta paru-parunya terdapat bercak-bercak putih, yang menandakan ia terkena BP.

Walaupun tanpa batuk, seperti yang pernah dialami (alm) kakaknya dulu.
Kata usus buntu itu kudengar dari dokter jaga, saat sore hari ia mendatangi tempat tidur Ayesh yang sedang dirawat. Ia mengatakan, akan segera dilakukan pembedahan.

“Hah, pembedahan? Memang anak saya ini sakit apa?” Aku ingin mempertegas pernyataan dokter.

“Usus buntu?”

“Lho, sejak kapan?”

Aku sampai tidak sadar, adikku Tihang Fahri bersama istri dan anak-anaknya sudah berada di belakangku, ketika dokter bertanya,” Apa ini keluarganya?”

“Iya keluarganya,”jawab Tihang, yang membuatku menoleh, tak tahu sejak kapan ia tiba.

Dokter kembali melanjutkan penjelasan. Aku yang belum sepenuhnya “ngeh” tidak lagi bertanya. Tihang juga diam.

Namun kami belum membahas lebih jauh pernyataan dokter. Itu adalah hari kedua Ayesha dirawat, tanggal 2 Mei 2025. Aku juga sedang sibuk mempersiapkan materi yang akan disampaikan untuk menjadi pembicara pelatihan menulis di Kampus Institut Teknologi Sumatera (Itera) esok paginya.

Malam harinya, sekitar pukul 21.15 WIB, aku dipanggil ke ruang dokter jaga. Ia menegaskan, bila Ayesha terkena usus buntu. Atau dalam bahasa kedokterannya (suspect) apendiktis akut. Katanya, itu adalah hasil pemeriksaan dokter spesialis anak tadi pagi.

“Lho, bukannya anak saya terkena broncho pneumonia?”

Si dokter jaga kemudian membuka hasil rontgen Ayesha. “Iya, kalau BP itu udah positif. Tapi ini anaknya juga terkena usus buntu,” jawab si dokter tegas, yang diiyakan oleh si perawat.

Aku tidak bisa berkomentar banyak. Antara bingung, terkejut, dan tidak percaya. Kesimpulannya adalah, besok jam 13.00 Ayesh akan di USG. Untuk itu, ia harus puasa mulai pukul 07.00 pagi.

Aku kembali ke ruang perawatan, dan mendapati Ayesh sedang menangis sesunggukan. Matanya sembab. Rupanya ia takut ditinggal sendirian.

Ya Allah Nak, kalau takut, kenapa tidak berteriak saja. Biar pasien lain di ruangan ini mendengar. Dan mama juga bisa dengar, sehingga tak perlu berlama-lama di ruang dokter jaga, yang sebenarnya berbatasan langsung dengan pintu ruang perawatan pasien.

Esok paginya, saat aku sedang bersiap hendak menuju kampus Itera. Tiba-tiba seorang yang belakangan menyebut dirinya juga dokter, menghampiri kami. Kebetulan saat itu juga ada suamiku (yang biasa kusapa Ajo), baru tiba dari mengantar dua kakak Ayesha ke sekolah. Karena aku akan pergi ke Itera, maka Ajo yang akan menunggui Ayesha.

“Ini anaknya kena usus buntu, kenapa ditolak untuk dilakukan pembedahan? USG itu tidak bisa mengatasi masalah, tapi kalau orang awam, memang kalau ada apa-apa, mintanya USG,” katanya tanpa ada basa basi sebelumnya.

“Maaf Dok, bagaimana maksudnya?” Tanyaku tak mengerti.

“Saya dapat info dari dokter anak, kalau keluarga minta anaknya di USG. Saya jelaskan ya, kalau USG tidak bisa mendeteksi apa-apa. Kecuali kalau usus buntunya sudah pecah, maka bisa dilihat melalui USG.”

Aku melirik Ajo yang sedang duduk di lantai. Mataku ingin bertanya, ini sebenarnya ada apa, dan apa ceritanya. Kemarin pagi, saat dokter anak visit, aku memang sedang pulang ke rumah sebentar, mengambil lap top, untuk membuat materi presentasi.

Penjelasan dokter yang sepotong-sepotong, dan terkesan dari kalimatnya kalau kami menolak tindakan medis, membuatku ingin mencari tahu lebih lanjut dari orang yang sedang ngotot berbicara denganku ini.

Dari kalimatnya, aku menjadi tahu, kalau dia adalah dokter spesialis bedah. Kalimatnya agak sinis, mungkin karena kami pasien BPJS. Berulang ia mengatakan, orang awam memang semuanya pengen USG, padahal tidak paham, USG itu untuk apa.

“Berbeda dengan orang-orang di luar negeri, yang wawasannya sudah luas,” katanya.

Ia lantas menekan perut Ayesh. “Ini sakit tidak?”

“Sakit,” jawab Ayesh, ketika ditekan perut bawahnya sebelah kanan.

“Ini sakit tidak?” tanya dokter, ketika menekan perut sebelah kiri.
“Enggak,” jawab Ayesh.

Waduh, pikirku. Ini tho masalahnya. Soal Ayesha yang menyatakan perutnya sakit, saat ditekan oleh dokter.

“Dok, maaf ya. Anak saya dirawat ini karena badannya panas tinggi dan sesak napas. Kenapa bisa usus buntu?” kataku.

“Ibu orang medis?” tanyanya dengan nada yang makin tak enak di dengar.

“Bukan.”

“Justru karena saya orang awam, saya bertanya seperti ini,” lanjutku.

Ia lantas menjelaskan lagi, dengan nada penuh tekanan. “Inilah yang menyebabkan anak-anak seumuran ini usus buntunya pecah tidak ketahuan. Karena tidak dirasakan, dan tidak diperhatikan oleh orang tuanya.”

“Memang banyak ya Dok, anak seumuran ini kena usus buntu?” tanyaku bloon.

Kulihat ekspresi muka si dokter tidak mengiyakan pertanyaanku. Tapi mungkin karena cepat menyadari pernyataan sebelumnya, dokter menjawab dengan nada yang tidak jelas. Intinya, ia masih ngotot untuk membedah perut Ayesha. Secepatnya.

“Kalau Ibu tidak mau bedah sekarang tidak apa-apa. Bisa pulang dulu, pekan depan bisa datang lagi. Atau bulan depan, atau tahun depan.”

Dugg, aku meringis. Seperti bait lagu Batas Senja saja, si dokter ini. Agak kocak, tapi menyesakkan.

“Tapi kalau usus buntunya sudah pecah, maka operasinya akan lebih lebar,” kata dokter, sambil menunjukkan jengkalan tangannya.

Aku membayangkan, sejengkal tangan si dokter, berarti sepanjang perut Ayesha donk.

“Maaf dok. Mungkin anak ini sakit perut ketika di tekan tadi. Kalau tidak ditekan, dia tidak mengeluh sakit,” kataku perlahan, masih mencoba bertahan.

Si dokter tampak menunjukkan sikap tak bersahabat. Sepertinya dia sebal sekali dengan pertanyaanku.

Singkat cerita, USG, meskipun disebut tidak ada gunanya, tetap akan dilakukan siang nanti.

Aku bertanya pada Ajo, apa yang terjadi, kenapa dokter-dokter di rumah sakit ini sepertinya menekan sekali, agar Ayesh segara dibedah. Dan kedatangan dokter spesialis bedah tadi, seolah-olah sebagai respon atas pembangkanganku.

“Saya juga tidak tahu. Saya gak pernah minta USG,” sahut Ajo.

Ternyata kemarin, ketika aku sedang pulang ke rumah, dokter spesialis anak menekan perut Ayesh, dan Ayesh menyatakan sakit di bagian perut sebelah kanan bawah. Itulah awal ia disebutkan suspect usus buntu, dan harus dilakukan pembedakan secepatnya.

Pagi itu, aku berangkat menuju Kampus Itera dengan sedikit galau. Tapi sedapat mungkin kutepis rasa itu, agar tetap bisa tampil sebagai pemateri yang profesional.

Aku bisa tenang, karena adik bungsuku Lia, datang dari kampung, dan bisa menjaga Ayesha pada hari itu, sampai aku kembali ke rumah sakit.

Pukul 13.30 siang, aku sudah kembali lagi ke rumah sakit. Jadwal USG ternyata mundur, menjadi jam 14.00 siang. Syukurlah, jadi aku bisa istirahat sebentar. Ajo pulang ke rumah, dan Lia juga sudah kembali ke rumahnya yang ada di Bandar Lampung.

Tinggallah aku bersama Ayesh. Diantar perawat yang mendorong Ayesha di kursi roda, kami menuju ruang USG.

Aku yang berdiri mendampingi Ayesh di samping dokter bersama para perawat, mengamati setiap gerakan tangan dokter yang menggosok perut Ayesha dengan cream menggunakan alat dan menggeser-geserkannya, lalu menatap layar komputer. Sesekali dokter mengetik sesuatu, yang aku tidak paham.

“Itu setiap yang diketik, apakah tandanya sudah ditemukan Dok?” tanyaku yang tengah menahan debaran jantung.

“Oh, tidak, bukan, ”katanya. Dokter paham yang kumaksud. Aku yang menanti dengan harap-harap cemas, khawatir bila si dokter sudah menemukan penyakit Ayesha, yaitu pecahnya si usus buntu.

Meskipun sebenarnya, aku benar-benar tidak yakin, anakku terkena penyakut usus buntu. Walaupun hanya radang. Selama ini, aku sebagai ibunya, tidak pernah melihat ataupun mendengar, Ayesha sakit perut.

Ketika USG usai, kutanyakan, apakah ia menemukan sesuatu yang mencurigakan? Dokter berkata tidak jelas, yang kutangkap tidak ditemukan penyakit itu. Tapi tampaknya ia tak ingin membocorkan lebih dini hasil pemeriksaan itu, karena tugasnya adalah melakukan USG. Bukan menjelaskan hasil.

“Nanti lebih jelasnya dokter anak yang menjelaskan, ya,” katanya.

Aku sempat berpikir, USG perut ini ternyata hampir sama dengan USG kehamilan yang sering kujalani. Ada alat yang ditempel di perut, lalu terhubung ke layar komputer. Tapi, bukanlah dokter spesialis obgyn (SPOG) yang melakukan USG, langsung menjelaskan hasilnya?

Tapi ah sudahlah. Terserah mereka saja, pikirku. Yang penting, semoga saja tidak ada penyakit berarti, yang berbahaya itu, di diri Ayesh.

Malam harinya, aku kembali dipanggil ke ruang perawat, untuk menghadap dokter jaga. Ia mengatakan, dari hasil USG tadi, harus segera dilakukan pembedahan terhadap diri Ayesh.

“Ini apakah sudah mengacu pada hasil USG tadi?” tanyaku, curiga.

Dokter menjawab tidak jelas. Ia malah bertanya pada perawat. “Iya, sudah,” jawab si perawat.

Tapi saat kutatap muka si dokter, maupun perawat, kok aku tidak percaya ya pada mereka.

Kenapa secepat ini kesimpulan sudah keluar. Kenapa tidak dokter spesialis anak yang menjelaskan, dan menunggu jadwalnya visit saja dulu.

Ah, apakah sudah segenting itu? Atau karena ini malam Minggu, dan besok dokternya libur. Tapi hasil USG tadi, untuk apakah?

Iya aku tahu, seperti kata dokter bedah tadi pagi, USG itu tidak berguna, Tapi kenapa tidak ada yang menjelaskan, hasil USG tadi siang seperti apa.

Yang kulihat, dokter dan perawat seperti oper-operan, dalam menjawab pertanyaannya. Dan kulihat, si perawat lebih agresif dalam mencecarku, untuk segera memutuskan saat itu juga, untuk dilakukan operasi pembedahan.

“Maaf ya, saya belum bisa memutuskan. Saya harus berdiskusi dulu dengan Ayahnya Ayesha,” kataku berkelit.

Alasanku diterima. Iya donk, masa seorang emak harus memutuskan seorang diri pembedahan terhadap anaknya. Bukankah kondisi tidak sedang darurat. Toh anaknya juga biasa-biasa saja. Tadi saatku tinggal, Ayesh sedang main hp.

Obrolan dengan dokter itu, kusampaikan pada dua orang adikku yang sedang berada di Bandar Lampung, Tihang dan Lia, melalui aplikasi perpesanan. Kedua adikku tegas menyatakan tidak setuju. Tidak boleh buru-buru.

“Nanti dulu. Periksa di dokter lain dulu,” kata Lia.

Tihang langsung menuju rumah sakit, bersama istrinya yang perawat. Ajo menyusul kemudian.

Dengan perlahan, Tihang berkata,” Saya tahu, Atu dan Ajo punya trauma terhadap anak yang sakit. Tapi dalam hal Ayesha ini, kita tahan dulu sebentar. Kita periksa di tempat lain dulu, untuk memastikan. Kita cari second opinion,” katanya.

Aku setuju. Apalagi dari hasil pengamatan kami, Ayesh tidak apa-apa. Tidak mengeluhkan sakit perut. Memang ketika kami tekan perutnya, ia menyatakan sakit.

“Kalau dia memang sakit, sekarang ini dia pasti udah meringis kesakitan. Gak bisa ketawa-ketawa main hape seperti itu,” kata Tihang.

“Iya. Kalau memang dia benar sakit perut, malam inilah kita kasih untuk operasi. Bukan mau nahan-nahan,” kataku.

Entahlah, Ayesh setiap ditanya perutnya sakit atau tidak, ia jawab sakit. Tapi ketika perut yang disebutnya sakit itu kukelitiki, dia tertawa. “Sakit apa geli sih,” tanyaku.

“Geli, eh sakit,” jawabnya, yang disahut derai tawa kami semua.

Berkali-kali kutanyakan itu pada Ayesh, dia memang menjawab sakit. Setelah itu, ia kembali sibuk dengan ponselnya, tertawa-tawa ruang. Sepertinya memang tidak ada masalah.

“Nak, kalau sakit jawab sakit. Tapi kalau tidak sakit, bilang tidak sakit,” kataku selalu berpesan padanya.

Tapi jawaban Ayesha selalu sama. Bahkan ketika kukatakan, kalau perutnya sakit, nanti perutnya akan dioperasi. Seperti perut mama waktu lahirin Ayesh.

“Eh, memang kapan Mah mau operasinya?” tanya Ayesh dengan lugunya.

Aduh. Sebagai seorang ibu, aku tentunya dalam posisi galau. Meski kami tidak ada yang percaya kalau Ayesh sakit perut dan terkena radang usus buntu, tetap saja aku memikirkan jawaban-jawaban Ayesh yang selalu konsisten.

Sudah berulang kali aku searching di google dan chatgpt, tentang tanda-tanda penyakit usus buntu, kukira tidak sesuai. Karena selain sakit perut bawah sebelah kanan, anak mengeluhkan rasa sakit yang terus-menerus.

Ketika Tihang pulang, kuminta Ajo yang menghadap dokter di ruang perawat. Tapi aku heran, prosesnya kok lama sekali. Ternyata kata Ajo, dia harus menandatangai pernyataan menolak operasi.

“Kok menolak. Kita bukan menolak, tapi menunda,” kataku.

“Iya, maksudnya begitu. Tapi dipernyataannya tidak ada kata menunda, yang ada menolak,” jawab Ajo.

Ya sudahlah, yang penting aman saja dulu.

Esoknya, hari Minggu. Tidak ada visit dokter spesialis anak. Mungkin kalau dia datang, kami sudah bisa pulang. Suhu tubuh Ayesh perhari itu sudah tidak tinggi lagi. Normal. Sesaknya juga sudah tidak lagi.

Tapi tak apalah, hari ini istirahat saja dulu. Semoga besok Ayesh makin pulih, dan kami bisa diperbolehkan pulang.

Senin pagi, seperti biasa, setiap pukul 5, semua pasien di ruang itu diperiksa. Suhu tubuh Ayesh sudah normal. Saturasi oksigen pun sudah baik. Aku tak sabar menunggu visit dokter anak.

“Sudah boleh pulang ya” kata dokter.
“Hasil USG kemarin juga baik,” lanjutnya.

Aku tersenyum. Aku memang yakin, Ayesh ini tidak apa-apa. Namun dokter berpesan, bila Ayesh mengeluhkan sakit, harus segera dibawa ke rumah sakit.

“Sakit yang seperti apa itu Dok?”

“Sakit yang terus menerus,” kata Dokter.

*****

Hari-hari setelah dari rumah sakit, aku selalu memantau perkembangan Ayesh. Aku rutin bertanya, apakah perutnya sakit, dengan menekan perut kanan bagian bawah itu. Selalu kukatakan,” Kalau perutnya sakit bilang sakit Nak, kalau tidak sakit, jangan bilang sakit.”

Sejak pulang dari rumah sakit itu, berkali-kali kutanyakan, Ayesh selalu menjawab perutnya tidak sakit.

Lima hari setelah dari rumah sakit, badannya sempat panas lagi. Lagi-lagi selalu kutanyakan, apakah perutnya juga sakit, namun Ayesh menyatakan tidak.

Ketika jadwal kontrol ke dokter di rumah sakit, kukatakan, bahwa ini pasien yang kemarin sempat dibilang suspect usus buntu dan hendak dibedah. Muka si dokter berubah.

“Iya, kemarin gejalanya sama,” ucapnya pelan.

Aku tersenyum. Lega. Alhamdulillah, ya Allah.

Begitulah. Apa yang bisa dipetik dari kisah ini? Silakan diterjemahkan sendiri saja ya, pemirsa.

Tulisannya sudah kepanjangan, soalnya. Hahaa.

Berita Terkait

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Top