Caleg Gagal dan Mahalnya Suara Rakyat


Setiap pemilihan umum (pemilu) pasti menyisakan kekecewaan yang mendalam bagi banyak orang. Apalagi, kalau bukan kalah dalam ajang kontestasi pemilu. Berbagai upaya untuk menggaet pemilih telah dilakukan, namun apa daya hasil tak sesuai kenyataan.

Meski gagal dalam pemilu sudah menjadi fenomena yang umum, namun tetap saja menarik menyimak kisah-kisah kekalahan mereka. Tentang upaya luar biasa yang sudah dilakukan, dan dugaan-dugaan penyebab ketidakberhasilan.

Seorang teman yang dekat dengan sejumlah caleg gagal, bercerita, bahwa menjadi caleg pada pemilu tahun ini sangat berat. Tabur-tabur uangnya sangat kencang, terutama di daerah (mungkin maksudnya di kabupaten). Ada temannya yang seorang DPRD incumben mengatakan, saat ini sudah pasaran bagi-bagi uang Rp 200 ribu per KK.

Ada juga temannya yang sudah pinjam uang Rp 500 juta dengan menggadaikan rumah adiknya, juga tidak berhasil menghantarkannya menjadi anggota legislatif. Walhasil, si caleg menangis setiap hari, memikirkan bagaimana membayar utang yang Rp500 juta.

Dulu ketika masih menjadi wartawan, kami pernah membuat berita tentang kesiapan rumah sakit jiwa dalam menangani dan merawat caleg yang gagal. Ternyata berita seperti itu masih ada hingga saat ini. Beberapa hari sebelum pemilu, saya membaca berita yang menuliskan rumah sakit jiwa menyiapkan sekian kamar untuk merawat caleg yang stress, dan sejumlah tenaga medis untuk membantu mereka.

Ada lagi cerita. Pada suatu siang, seorang temanku menelpon. Aku yang hampir saja tertidur siang agak sedikit terganggu dengan telponnya yang tiba-tiba. Menurutku, hari gini orang-orang pastinya lebih banyak berkomunikasi via pesan singkat. Kalaupun hendak menelpon, biasanya sudah ada komunikasi via perpesanan dulu.

Teman itu lantas bertanya tentang kabarku. Aku menjawab balik,” Gua yang harusnya nanya apa kabar dan cerita lu.”

“Cerita yang mana dulu,” jawab si sohib lama.

“Kenapa lu kalah?” kataku. Aku bisa saja agak tega bertanya tanpa tedeng aling-aling begitu. Tapi dia ini temanku, yang biasa kucandai.

Aih temanku itu langsung esmosi. “Siapa bilang gw kalah, gw menang.”

“Hah, menang. Lu jadi? Masak sih, gw kok gak baca beritanya,” jawabku tak percaya. Karena aku kan masih termasuk sering baca berita, apalagi seputar pencalonan legislatif. Teman- temanku banyak yang ikut berkontestasi.

“Iya gw berhasil, jadi nomor dua. Gw lagi nunggu PAW teman yang nomor satu,” ujarnya.

Uft, itu to maksudnya. Dia pun bercerita, untuk menjadi nomor urut kecil dalam sebuah daerah pemilihan, biayanya sangat besar. “Gak sanggup gw bayarnya. Mana lagi untuk dapat suara rakyat biayanya juga gede,” katanya.

Menjadi Bijak

Kekecewaan bisa jadi bertebaran di mana-mana. Tapi ada yang menarik dari pengamatanku terhadap seorang teman. Ia juga sudah habis-habisan, keliling daerah bertemu dengan masyarakat.

Tapi aku tak tahu, apakah ia keliling, keliling saja, tak bagi-bagi uang. Aku tak enak menanyakannya, karena belum ada momen bertemu face to face. Hanya beberapa kali berkirim pesan dan telponan untuk urusan lain. Temanku ini berbeda dengan yang kusebut di atas, dia lebih senior, sehingga aku segan bertanya apalagi dengan nada bercanda.

Temanku itu dalam status-statusnya di aplikasi pesan whatapps, penuh dengan motivasi untuk bangkit dari kekecewaan. Kadang dalam bentuk poster, kadang dalam bentuk video, tapi ada pula dalam tulisan yang dia buat sendiri. Beberapa kali saya bilang izin copas statusnya. Keren sangat.

Status temanku itu sejatinya adalah tumpahan kekecewaan. Tentang perjuangan yang tak berarti apa-apa karena diinilai dengan uang. Tentang ia yang seolah baru menyadari bila teman-teman yang ternyata tidak membantu dalam perjuangannya. Tentang upayanya menghibur diri, hingga kutipan-kutipan hadist dan ayat Al Qur’an tentang kesabaran dan ketakwaan, karena segala sesuatu yang kita hadapi, tak lepas dari takdir Allah.

Status yang sejatinya menghibur diri, ternyata sangat bermanfaat. Aku jadi sering membaca dan mengamati statusnya. Bila dia update status dan pas ketika kulihat, aku akan cepat membacanya.

Menurutku, apa yang dipasang itu sangat pas, tepat dan gres di hati. Entah, apakah sebenarnya aku sedang dalam kondisi yang sama dalam bentuk yang berbeda? (hehehe).

Status yang ia pasang bisa menjadi syiar untuk sesama. Aku kadang berpikir, dari mana beliau ini dapat kutipan dan video yang begitu bagus. Apakah dia searching di google? Atau dia ikut group khusus orang-orang kecewa?

Atau dia dapat kiriman dari teman-temannya? Kalau dia cuma screenshot atau minta status dari teman lain, seperti yang aku lakukan sekarang, kayaknya enggak deh. Bisa semasif itu soalnya, statusnya. Kadang sehari bisa lima, bahkan lebih.

Aku juga berpikir, kekalahan teman-teman caleg ini, khususnya status yang sering kubaca ini, tentu sangat tak sebanding dengan yang kualami tempo hari. Gagal dalam seleksi Bawaslu Provinsi Lampung, yang terasa sangat aneh itu. Dan mengundang banyak protes dari berbagai elemen (bisa baca tulisanku sebelumnya ya, yang berjudul Cerita Keterwakilan Perempuan dalam Seleksi Bawaslu Lampung).

Ya, bisa saja aku lebih bersyukur. Aku hanya modal pikiran, waktu, dan sedikit tenaga waktu itu. Mengikuti beberapa tahapan seleksi. Meskipun seleksi akhir itu di Bawaslu RI di Jakarta, biayanya pasti tak ada apa-apanya dengan perjuangan dirinya. Apalagi upaya yang kulakukan saat itu hanya sebatas mengikuti test saja, tidak kasak kusuk loba lobi.

Jauh sebelum pemilu, temanku itu memang sudah bekerja keras. Blusukan ke sana kemari. Ada foto-fotonya sedang bertemu masyarakat di satu daerah, lanjut daerah-daerah lainnya. Hampir tiada hari tanpa status perjuangan. Dan sepertinya temanku itu cukup percaya diri untuk menang.

Sampai Meninggalkan Kampung Halaman

Ada lagi kisah temanku yang lain. Tapi ini kejadian pemilu 2019. Ia yang begitu kecewa sampai menjual rumah dan semua aset di kampung, lalu pindah ke kota. Penyebabnya, bukan hanya kecewa dan kesal, ia juga merasa tak punya muka lagi tinggal di komunitas kampungnya.

Saat itu, ia menjadi caleg untuk kabupaten tersebut. Sudah sering kali ia mengumpulkan warga, yang merupakan tetangga dan kerabat kanan kiri. Judulnya adalah pengajian keliling, atau terang-terangan kampanye tatap muka. Di situ ia membagi-bagi uang. Ia juga membentuk simpul-simpul yang terdiri dari kerabat dekat. Mereka yang bergerak ke bawah untuk mengumpulkan suara.

Ketika pemilu tiba, suara untuk dirinya nyaris melompong. Bahkan di lingkungan tempat tinggalnya, ia tidak mendapatkan satu suara pun. Sungguh kekecewaan yang menyakitkan.

Itulah sekelumit kisah teman-temanku yang gagal nyaleg. Tidak ada yang ingin kalah. Seperti lagu Feby Putri, dalam liriknya yang berjudul Usik. ”Tak ada yang meminta seperti ini. Tapi Menurutku Tuhan itu Baik.”

Ya, kita tentunya ingin semua kenyataan sesuai harapan. Tapi apa daya, kita adalah manusia, yang hidup menurut takdir yang sudah digariskan oleh-Nya. Tetap semangat kawan-kawan.

Berita Terkait

Top