Catatan Pilkada Serentak 2024: Yang Terbuang, tapi Masih Berguna


JELANG Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) serentak 2024 kemarin, aku sempat disibukkan dengan aktivitas mengisi materi tentang pengawasan pemilu. Lho, memangnya saya ini siapa?

“Kamu udah jadi komisioner lagi ya? Wah gak ngajak-ngajak,” tiba-tiba seorang teman lama mengirim pesan padaku.

“Justru karena aku gagal (melulu) jadi komisioner, aku diminta ngisi-ngisi,” selorohku.

Mulanya, aku diminta mengisi materi tentang Pengawasan Partisipatif, di dua kecamatan, di Lampung Timur. Lanjut diminta mengisi tema serupa di dua kecamatan lainnya.

Eh berikutnya, diminta lagi mengisi pembekalan dan bimbingan teknis (bimtek) untuk Pengawas Tempat Pemungutan Suara (Pengawas TPS) di kabupaten lainnya. Sempat juga di Kota Bandar Lampung. Dan terakhir, aku diminta mengisi Rapat Koordinasi (Rakor) di Bawaslu Kabupaten Waykanan, kampung halamanku.

Biasanya, setiap kali keluar kota, ada dua kecamatan yang harus kuhadiri untuk menyampaikan materi. Memang sudah diatur, supaya tidak “tekor” diongkos. Satu kecamatan melaksanakan acara pada pagi hari, dan satu kecamatan lagi pada siang harinya.

Khusus yang di Kabupaten Waykanan, hanya satu lokasi. Kumaklumi saja, karena yang mengundangku adalah Bawaslu setempat, dalam artian mengisi acara yang dilaksanakan oleh Bawaslu. Pesertanya adalah para Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kecamatan di kabupaten itu. Jadi memang (hanya) tunggal.

Berbeda dengan sebelumnya. Meski yang mengundang juga adalah dari Bawaslu kabupaten/kota, tapi teknis pelaksaannya ada di kecamatan-kecamatan.

Selain itu, Kabupaten Waykanan adalah kampungku, jadi aku bisa sekalian pulang kampung, ke rumah orang tua. Sekalian menjolok mangga yang pastinya sudah matang—matang. Pada bulan lalu, saat aku pulang kampung, mangga baru beranjak tua.

Ada kegembiraan dan keasyikan tersendiri ketika aku menghadiri dan mengisi materi tentang pemilu tersebut. Ternyata aku masih cukup menguasai materi tentang kepemiluan. Bukan saja karena aku pernah menjadi komisioner KPU, tapi juga karena aku yang sudah mengikuti seleksi berkali-kali ini (jangan tertawa ya, pemirsa).

Tentang pengawasan partisipatif, misalnya. Ketika mengikuti seleksi Bawaslu Provinsi Lampung pada 2023 lalu, aku sudah banyak membaca soal itu. Bahkan sempat pula membeli buku yang ditulis oleh Ketua Bawaslu RI.

Berbagai program tentang Pengawasan Partisipatif juga menjadi salah satu program unggulan dalam visi dan misi yang kususun, saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Bawaslu RI.

Soal konsep partisipasi, sudah banyak kupelajari saat menjadi komisioner KPU Kota Bandar Lampung dulu, karena kebetulan aku menjadi Ketua Divisi Partisipasi Masyarakat dan Pendidikan Pemilih. Tugasku waktu itu memang harus banyak bertemu dengan orang banyak dari berbagai segmen. Mulai dari pemilih pemula, pemilih muda, pemilih perempuan, kelompok marginal, tokoh agama dan tokoh masyarakat, disabilitas, dan lainnya.

Belajar Lagi

Lalu ketika mengisi pembekalan dan bimtek bagi Pengawas TPS, ini yang menuntut aku harus lebih banyak membaca referensi. Tentang tugas, fungsi, dan wewenang Pengawas TPS, tentu saja. Selain itu, karena mereka bertugas mengawasi pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara (tungsura), aku juga harus menguasai teknis tungsura, yang merupakan tugas fungsi, dan wewenang Kelompok Pelaksana Pemungutan Suara (KPPS).

Nah, di sinilah prosesku belajar, membaca undang-undang, Peraturan KPU dan sebagainya dalam berbagai seleksi yang pernah kuikuti, sangat membantu. Berbeda dengan Undang-Undang yang mengatur tentang Pemilu, yang cukup membaca UU No 7 tahun 2017, UU tentang Pemilihan (Pilkada) ini sudah banyak sekali perubahannya.

Aku menjadi tidak kesulitan menemukan di mana berbagai aturan dan peraturan itu bertebaran. Aku bisa menelisiknya dengan mudah. Termasuk juga ketika harus membaca Peraturan KPU dan Peraturan Bawaslu. Kesulitanku hanya satu: tidak bisa membuat power point yang menarik (hadeh).

Ketika berhadapan dengan audience, aku juga cukup percaya diri. Meskipun, (sekali lagi), saya ini siapalah. Yah setidaknya aku sudah banyak membaca referensi, termasuk aturan-aturan terbaru, yang sebenarnya tak jauh berbeda dengan pemilu/pilkada sebelumnya.

Mengikuti Seleksi KPU Provinsi dan Kota

“Mbak ngisi materinya pasti lebih bagus, karena nilai CAT mbak Ila selalu bagus,” kata seorang teman.

Dia juga orang yang tersisih macam aku. Artinya, dalam berbagai seleksi penyelenggara pemilu, dia termasuk orang “yang tidak diharapkan”.

Meskipun begitu, seperti juga aku, menemukan jalannya sendiri untuk mentas sebagai pembicara. Dia mantan anggota Bawaslu. Lebih nyambung, sebenarnya. Tapi menurutnya, ia hanya mengisi materi bila ada temannya berhalangan hadir.

“Jadi saya ini spesialis pemeran pengganti,” katanya.

Ya, menjadi pemateri, seperti halnya mengikuti seleksi, juga ada jalur-jalurnya. Jalur ungu, hijau, pink, dirty pink, lilac, army green, dan sebagainya (uftt, inilah dampak sering belanja online, jadi latah soal warna-warna turunan).

“Udah gak usah bahas soal nilai CAT,” tukasku, bila kawanku itu membahas nilai ujian. “Itu hanya akan menyakit saja,” lanjutku.

Sama seperti seleksi Bawaslu tempo hari, nilai CAT-ku termasuk bagus. Terakhir, saat ikut seleksi KPU Kota, nilaiku 61. Menurutku itu nilai ajaib. Aku sendiri gak menyangka nilaiku mencapai 60 an, karena soalnya teramat sulit. Sebelum submit, aku menduga nilaiku pasti dikisaran angka 40 an.

Ketika mengikuti seleksi KPU Provinsi, sebulan sebelumnya, aku merasa soalnya-soalnya mudah. Kupikir nilaiku bisa mencapai 80. Tapi ternyata tak sampai.

Meski nilai CAT tinggi, dalam dua seleksi itu aku tidak lulus. Seleksi KPU Kota, misalnya, aku diberi nilai esai 38.

“Itu untuk mengimbangi nilai esai elu yang ternyata paling tinggi. Jadi diberi esai terendah,” kata seorang teman, yang menjadi tim seleksi di salah satu kabupaten.

“Memang beresiko sih ngelulusin elu ini di tahap awal. Takut leading ke Jakarta, dan menguat. Nanti publik rame lagi kayak pas seleksi Bawaslu kemarin,” kata temanku yang lain, timsel di daerah lainnya lagi.

Ya, dari proses ini aku semakin paham. Bahwa untuk ikut seleksi-seleksi, kalau ingin terpilih, tidak boleh hanya mengandalkan nilai ujian yang baik. Tapi juga harus ada orang dalam. Sekali lagi orang dalam. Yang bisa mengatur segalanya.

Begitulah kisahku, yang sempat berguna dan dipergunakan dalam tahapan pilkada kemarin. Sebuah guna yang teramat sedikit.

Bandar Lampung, 26 November 2024

Berita Terkait

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Top