Hapuskan Saja Aturan Keterwakilan Perempuan 30 Persen dalam Penyelenggara Pemilu
Perempuan dalam penyelenggaraan Pemilu
Masalah keterwakilan perempuan dalam penyelenggara pemilu kerap menjadi perhatian publik. Diantaranya mencuat lagi saat pengumuman seleksi Bawaslu provinsi pada bulan Juli lalu, karena di beberapa daerah tidak ada perempuan yang terpilih.
Padahal saat seleksi dibuka, semangatnya (seolah-olah) akan benar-benar memperhatikan keterwakilan perempuan. Ketika pendaftaran ditutup, kuota keterwakilan belum mencapai 30 persen, maka sesuai ketentuan, pendaftaran diperpanjang lagi selama tiga hari.
Termasuk dalam proses seleksi di Provinsi Lampung, yang ketika itu kurang satu persen. Memasuki tahap seleksi yang menghasilkan 16 besar, kuota keterwakilan perempuan masih diperhatikan. Lalu pada 8 besar, hanya menyisakan satu orang perempuan. Mungkin persaingan semakin ketat.
Kemudian pada saat uji kelayakan dan kepatutan di Bawaslu RI, dari 4 besar yang dipilih, tidak lagi menyisakan perempuan. Semuanya laki-laki.
Pengumuman dari Bawaslu RI itu menimbulkan reaksi keras, dari berbagai kalangan. Tidak hanya dari kalangan aktivis perempuan, tapi juga pengamat politik yang laki-laki. Reaksi keras bermunculan di media massa, hanya beberapa menit sejak pengumuman diupload di laman resmi Bawaslu RI.
Hingga esok dan esoknya lagi, berbagai kecaman bermunculan. Menurut mereka, keputusan Bawaslu RI itu menunjukkan tidak adanya komitmen dalam pelaksanaan pasal dalam UU Pemilu tentang keterwakilan perempuan 30 persen. Bawaslu dinilai tidak memperjuangkan keterwakilan perempuan.
Dalam bahasa lain, keterwakilan perempuan hanya basa-basi. Hanya ada di proses pendaftaran, namun melupakan pada hasil seleksi. Lebih mementingkan kepentingan politis.
Sebanyak 12 organisasi yang tergabung dalam Koalisi Perempuan untuk Demokrasi Lampung (KPDL) mempertanyakan komitmen Bawaslu RI yang tidak meloloskan calon perempuan dalam seleksi Calon Bawaslu Provinsi Lampung. Keputusan itu tidak memenuhi ketentuan dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pada Pasal 92 Ayat 11, yang menyebutkan bahwa: Komposisi keanggotaan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten /Kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
“Kami meminta Bawaslu RI meninjau ulang Keputusan Hasil Uji Kelayakan dan Kepatutan Bawaslu Provinsi Lampung Masa Jabatan 2023-2028 Nomor 60/KP/KI/07/2028 yang tidak memenuhi keterwakilan perempuan,” kata perwakilan KPDL, Handy Mulyaningsih.
“Boro-boro 30 persen keterwakilan perempuan, yang terjadi adalah 0 persen. Padahal pda 8 besar kemarin, terdapat 1 perempuan. Mengapa tidak dipertahankan,” kata Apriliati, Ketua Kaukus Perempuan Parlemen DPRD Provinsi Lampung.
Menurut April, Bawaslu RI sebagai penyelenggara pemilu tidak memperhatikan makna yang tersurat dan tersirat dalam ketentuan UU Pemilu tersebut. Padahal Bawaslu sangat peduli dengan penetapan bakal calon legislatif yang harus memperhatikan keterwakilan perempuan di setiap daerah pemilihan (Dapil). Ketentuan itu terdapat dalam Pasal 246 ayat 2 UU Pemilu yang mengatur setiap tiga orang bakal calon terdapat paling sedikit satu orang perempuan bakal calon. Namun mereka abai dengan komisioner yang tidak meloloskan partisipasi perempuan sebagai penyelenggara pemilu.
Protes aktivis perempuan dan akademisi kemudian diwujudkan dengan menggelar diskusi publik dengan tema “Posisi Politik Perempuan Hari Ini, Pentingkah?” di FISIP Unila, Rabu, 2 Agustus 2023. Dalam forum itu mereka menyampaikan pernyataan sikap yang intinya menyayangkan keputusan Bawaslu RI tersebut.
Aprialiati bahkan mendorong UU serta pasal-pasal yang berkaitan dengan keterwakilan perempuan dihapus saja, karena makna aturan itu selalu diabaikan.
Kekecewaan aktivis perempuan di Lampung memang beralasan. Pada seleksi Bawaslu Provinsi Lampung tahun 2022 lalu, yang memilih 3 orang komisioner, semuanya laki-laki. Perempuan memang tidak masuk dalam 6 besar calon Bawaslu Provinsi Lampung yang dikirim ke Jakarta.
Waktu itu, Kaukus Perempuan Parlemen Lampung bersama sejumlah aktivis perempuan mengirim surat terbuka yang ditandatangani 19 ketua forum dan aktivis yang diajukan kepada Bawaslu RI. Dan ternyata pada seleksi Bawaslu Provinsi Lampung tahun 2023 untuk mengisi 4 kursi komisioner, kejadian itu terulang lagi, meski saat uji kelayakan dan kepatutan di Bawaslu RI ada satu peserta perempuan.
Tindak lanjut dari diskusi aktivis perempuan menyikapi seleksi Bawaslu Provinsi Lampung itu, pada 10 Agustus lalu sebanyak 43 organisasi mengajukan keberatan kepada Bawaslu RI dan meminta lembaga tersebut meninjau ulang hasil seleksi yang tidak meloloskan calon perempuan. Penyampaian keberatan itu juga dikirim ke Dewan Pengawas Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Memperhatikan Itu Wajib atau Tidak?
Aturan dalam UU Pemilu, baik tentang keanggotaan KPU maupun Bawaslu, dengan frasa kata “memperhatikan” memang mengundang perdebatan. Ada yang mengartikannya sebagai kewajiban. Ada pula yang mengartikan sebagai “lihat-lihat” doang.
Seperti kita memandang bunga yang indah, cukup diperhatikan, namun jangan sampai diambil. Bagi yang menganggap sebagai kewajiban, mengibaratkan seorang guru yang meminta agar siswanya memperhatikan pelajaran yang sedang dijelaskan. Maka itu hukumnya menjadi wajib, alias siswa yang tidak menuruti “perintah” sang guru bisa saja mendapat hukuman. Lebih dari itu, bagi yang tidak memperhatikan, akan ketinggalan pelajaran.
Lantas bagaimana hukum Indonesia memaknai frasa kata “memperhatikan” soal keterwakilan perempuan ini?
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 74/PUU-XI/2013, MK menyebutkan bahwa affirmative action adalah hukum dan/atau kebijakan yang mensyaratkan diterapkannya kepada kelompok tertentu yang mengalami ketidaksetaraan atau ketidakadilan dengan memberikan perlakuan khusus dalam kasus tertentu guna mencapai kesetaraan dan representasi yang lebih proporsional dalam beragam institusi dan jabatan.
Hal tersebut bertujuan agar kelompok/golongan tertentu (gender atau profesi) memperoleh peluang yang setara dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama. Putusan itu sendiri dikeluarkan MK atas permohonan yang diajukan oleh Mayce Dwi Wahyuni tertanggal 6 Juli 2013 yang mempersoalkan makna keterwakilan perempuan dalam seleksi KPU kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu.
Dengan demikian penerapan affirmative action, lanjut Mahkamah dalam pertimbangannya, khususnya memberikan keistimewaan tertentu kepada perempuan dalam pengisian jabatan tertentu, misalnya mengisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU kabupaten/kota adalah untuk mengakselerasi jumlah anggota perempuan dalam mengisi jabatan tersebut, sehingga setara dengan jumlah laki-laki.
Penerapan affirmative action, khususnya keterwakilan perempuan dalam pengisian jabatan tertentu tidak dapat dipaksakan tanpa memperhatikan kemampuan dari perempuan itu sendiri, sebab apabila hal itu dilakukan tanpa memperhatikan tanpa memperhatikan kemampuan dari perempuan itu, bukannya dapat menjunjung harkat dan martabat perempuan sebagaimana tujuan awal affirmative action, melainkan dapat mengakibatkan yang sebaliknya.
Dalam poin berikutnya MK menyatakan, KPU adalah salah satu lembaga penyelenggaraan pemilu untuk mengisi jabatan DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota. Penyelenggaraan pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, serta jujur dan adil, dapat terwujud apabila penyelenggara pemilu mempunyai kemampuan kompetensi, kapabilitas dan integritas yang tinggi serta memahami dan menghormati hak-hak sipil dan politik dari warga negara. Hal itu karena penyelenggara pemilu yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan sebagaimana tersebut di atas berpotensi menghambat terwujudnya pemilu yang berkualitas.
Dengan demikian menurut Mahkamah, pemberian kuota sekurang-kurangnya 30 persen bagi calon perempuan dalam pengisian keanggotaan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota didasarkan pada pemenuhan persyaratan dimaksud yang dibuktikan dengan lulus pada seluruh tahapan seleksi yang dilakukan oleh tim seleksi anggota KPU. Sehingga apabila yang bersangkutan lulus menjadi anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota dapat menjalankan tugas dan kewajibannya secara profesional.
Berdasarkan penilaian hukum di atas, menurut Mahkamah, kata “memperhatikan” dapat dimaknai dalam pengisian keanggotaan KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota harus mengikutsertakan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen secara mutlak/namun demikian oleh karena adanya afirmative action dalam pengisian keanggotaan perempuan dalam jabatan anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota maka apabila terdapat perempuan yang telah lulus semua tahapan seleksi dan memenuhi kualifikasi yang sama dengan calon anggota laki-laki, sedangkan anggota perempuan belum ada yang terpilih, maka dalam keadaan tersebut perempuan harus diutamakan untuk menjadi anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
Hapuskan Saja Pasal tentang Keterwakilan Perempuan
Meski yang diputus MK saat itu adalah dalam konteks seleksi KPU, makna tersebut tetap bisa digunakan oleh Bawaslu dalam memahami makna “keterwakilan perempuan” dalam proses seleksi anggota Bawaslu Provinsi maupun Bawaslu Kabupaten/Kota. Namun bila hal itu memberatkan atau sulit dilaksanakan, sebaiknya pasal tentang memperhatikan keterwakilan perempuan itu dibuang saja.
Daripada menjadi pasal yang tidak berguna. Daripada menjadi pasal yang ditakutkan oleh para calon laki-laki. Daripada menjadi pasal yang membuai kaum perempuan.
Biarlah pengaturan tak memakai pembedaan jenis kelamin. Meski penghapusan pasal tersebut pasti akan ditentang keras oleh kawan-kawan para aktivis perempuan. Tapi untuk apa ada aturan yang enggan untuk diterapkan.
Supaya perempuan yang mengikuti seleksi tidak kegeeran, merasa berpeluang keterima karena keperempuannya. Padahal sebenarnya tidak. Itu hanya angin sorga belaka. Hilangkan saja, agar perempuan bisa lebih strong dalam pertarungan.
Lantas bagaimana dengan aturan dalam kepemiluan yang mewajibkan ada satu bakal calon perempuan dalam tiga bakal calon pada satu daerah pemilihan? Dan aturan dalam UU Partai Politik tentang kewajiban menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan dalam pembentukan dan pendirian partai politik?
Ya kalau itu biar saja. Karena itu aturannya tegas, bisa membatalkan pencalegan di satu dapil dan pendirian sebuah partai politik.
Sedangkan makna keterwakilan perempuan dalam UU Pemilu, sanksinya apa? Bahasanya saja tidak tegas, hanya difrasakan sebagai “memperhatikan”. Dan kita semua tentunya sudah tahu, bahwa hidup ini memang tidak (harus) adil.
Fadilasari
Peserta seleksi Bawaslu Provinsi Lampung, Juli 2023







