Orde Baru yang Tak Terlupakan

Jelang pemilu 2019, sosialisasi pemilu gencar dilakukan sejak usai pemilihan gubernur di bulan Juni 2018. Kami, KPU Kota Bandar Lampung, melakukan sosialisasi dan pendidikan pemilih ke berbagai segmen masyarakat, khususnya pemilih pemula, perempuan, dan disabilitas.
Kami juga kerap melakukan sosialisasi dan pendidikan pemilih ke kelompok marginal, tokoh masyarakat, termasuk kelompok prapemilih dengan cara mendatangi mereka. Tujuannya adalah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat setiap pemilu, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Setiap mengadakan sosialisasi, ada nuansa dan dinamikanya tersendiri. Maklum, berbagai segmen itu berasal dari kelompok yang berbeda-beda. Karena itu, aku selalu menyiapkan materi sosialisasi yang berbeda untuk setiap segmen. Bahkan untuk segmen yang sama pun, kerap materinya aku bedakan, karena kalangan mereka pun berbeda.
Contoh, untuk pemilih pemula, bagi siswa SMU, perguruan tinggi, santri di pondok pesantrean, tentu harus ada sentuhan yang tak sama. Demikian pula untuk kelompok perempuan, tentu tak sama antara perempuan nelayan (marginal), ibu PKK, atau dengan ibu-ibu majelis taklim.
Suatu kali, kami sosialisasi ke jemaah pengajian, alias ibu-ibu majelis taklim. Sekitar 50-an ibu-ibu mendengarkan dengan takzim apa yang kusampaikan, lengkap dengan piulpen dan sebuah bloknote ditanngan.
“Kok ibu-bu seperti di sekolahan, semua pegang alat tulis dan siap mencatat?” tanyaku setengah bercanda.
“Kami udah biasa seperti ini bu, mencatat apa yang disampaikan pemateri. Untuk oleh-oleh yang di rumah, dan supaya tidak lupa,” kata seorang ibu yang duduk di depan. Usianya sekitar 70-an tahun.
Wow, hebat ibu-ibu ini pikirku. Kami saja, kalau sedang ada acara, baik seminar maupun pelatihan, sering malas memegang pulpen. Hanya modal kuping dan ingatan yang kerap menghilang. Atau paling banter, mencatat via ponsel, yang kemudian tidak diingat lagi tentang catatan itu. Atau bila pun mencatat, selesai acara, catatannyua raib entah kemana, karena tidak dipelihara.
Seperti biasa, setelah membuka wawasan peserta tentang materi kepemiluan dan kewarganegaraan dengan bahasa yang mudah dan kerap kocak, aku mengadakan tanya jawab spontan. Ada souvenir dari KPU bagi yang bisa menjawab. Beberapa pertanyaanku bisa dijawab oleh para peserta. Seperti pemilu 2019 mendatang siapa saja yang akan kita pilih, kapan pelaksanaan pemilu, dan apa syarat untuk memilih.
Ketika aku bertanya, siapa yang bisa menyebut nama lima partai peserta pemilu berikut nomor urutnya, seorang ibu yang duduk di belakang mengacungkan jarinya. Setelah kupersilakan, si ibu menjawab,”Nomor urut 1 Partai Persatuan Pembangunan, nomor urut 2 Golkar, dan nomor urut 3 PDIP”.
Aku yang agak terkejut engan jawaban si ibu, minta dia mengulangi jawaban tersebut. Tertnyata jawabannya tetap sama.
“Ibu kapan terakhir ikut pemilu?” tanyaku,
“Pemilihan gubernur kemarin saya milih. Pemilihan walikota juga saya milih,” kata si ibu yang usianya kutaksir sekitar 55 tahun. Pemilihan gubernur yang dimaksud digelar pada 27 Juni 2018, dan pemilihan walikota pada 9 Desember 2015.
“Pemilu 2014 ibu ikut?”
“Ikut,” jawabnya.
Oalah, aku pun menjelaskan, bahwa nomor urut partai seperti yang dia sebut itu adalah pada masa era orde baru. Sejak pemilu 1999, nomor urut parpol berubah setiap kali akan pemilu. Dan jumlah peserta pemilu pun tidak hanya tiga saja.
Si ibu yang menjawab pun tertawa mendengar jawaban. Namun ibu-ibu yang lain, tidak bersorak sorai layaknya saat sosialisasi ke pemilih pemula yang saling mentertawai temannya ketika salah dalam menjawab.
Gold House, 23 November 2018







