Teringat Peristiwa Talangsari


peristiwa Talangsari, Lampung, 1989

 

Suatu harisaat di kantor sedang tidak ada kegiatan. Aku duduk di ruang kerja, sambil membuka laptop. Sayup-sayup kudengar orang berbicara, tak jauh dari ruanganku. Mulanya aku tak tertarik dengan pembicaraan mereka. Namanya juga kantor, orang bisa bicara dimana saja, asal tak menganggu orang yang sedang bekerja.

Tapi lama kelamaanm pembicaraan mereka sepertinya ada hubungannnya denganku.

“Itu ruangannya bu Ila, yang wartawan itu ya?”

“Dulu wartawan, sekarang enggak lagi,” jawab seorang staf yang meladeni seseorang yang sepertinya tamu itu.

“ Iya, maksudnya begitu. Orangnya ada gak ya?”

“Sepertinya ada. Ruangannya terang.”

Aku jadi tertarik, ingin mengetahui siapa sih tamu yang datang itu. Bisa jadi mereka adalah teman lamaku, karena tahu aku (dulunya) seorang wartawan.

Aku mencoba fokus ke laptop, tapi gagal. Mereka terus mengobrol, entah tentang apa. Karena penasaran, aku lantas keluar ruangan, pura-pura hendak ke koperasi mencari minuman. Ketika aku menuju koperasi yang berada di sebelah kiri ruanganku, aku menoleh ke orang-orang yang sedang berdiri di ujung sebelah kanan ruanganku. Ternyata ada dua orang tamu. Aku tak kenal.

“Itu bu Ila-nya,” kata staf kantor, sambil menunjuk ke arahku yang sudah kembali dari koperasi sambil membawa sebotol minuman dan makanan kecil.

“Iya, siapa ya?” tanyaku dan mendekat. Hem kebetulan deh, pikirku. Pengen tahu juga siapa mereka yang dari tadi merasani aku.

“Kami dari…. (off the record aja ya, pemirsa, hehe). Dia menyebut nama sebuah kesatuan keamanan.

Mereka lantas mengenalkan diri, dan menyatakan kenal dengan suamiku, yang juga seorang jurnalis. Aku lantas mengajak mereka masuk ke ruang kerjaku.

“Mba ila sekarang berbeda, gayanya udah kalem,” celutuk satu diantara tamuku itu.

“Lho, memang dulu bagaimana?”

Berceritalah mereka, kalau sejak dahulu sudah mengenalku. Bahkan sejak aku masih mahasiswa, yang sering terlibat dalam aksi-aksi unjuk rasa. Si mas intel itu mengatakan, namaku sudah begitu familiar di kalangan aparat keamanan, kala itu.

Terlebih lagi, saat aku menulis dan melounching buku “Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung,” yang “fenomenal”, dan kegiatannya dipublikasikan secara luas oleh media massa, baik Lampung maupun nasional.

“Memang mas-nya datang saat saya lounching buku di Unila tahun 2007 lalu?”

“Iya donk, saya kan duduk di ujung panggung, menjagain mbak ila yang sedang presentasi,” katanya, yang membuat kami bertiga tertawa berderai.

Waktu aku lounching dan diskusi buku tempo hari, memang banyak sekali aparat keamanan yang hadir, baik yang berseragam resmi maupun yang berpakaian preman. Baik yang duduk di kursi peserta, maupun yang bertebaran diseliling acara.

“Dulu mba ila ini memang mentalnya juara,” timpal yang seorang lagi.

Aku lagi-lagi tertawa.

“Sebelum saya lounching buku, kan para korban peristiwa Talangsari mengadakan peringatan peristiwa tersebut di sebuah lapangan, di Lampung Timur,” kataku.

“Iya, saya juga hadir waktu itu. Saya berdiri tak jauh dari mba ila duduk,” katanya lagi.

Oalah…

“Terus sampeyan pada datang kesini, pada mau ngapain ya? Mau ngintelin saya, atau ada urusan yang belum selesai?”

“Enggak kok mba… kami datang untuk meminta data pemilih pada pemilu kemarin. Sekalian yaa… sudah lama gak ketemu sama mba di lapangan.”

Hahaaa… Yo wesh. Silakan diminum teh botolnya.

 

Bandar Lampung, 7 Februari 2019

(mengenang terjadinya peristiwa pelanggaran HAM Talangsari di Dukuh Cihideung, Lampung Timur, 7 Februari 1989)

Berita Terkait

Top