Ayahku dan Kedisiplinan Hidup


Aku belajar banyak tentang kedisiplinan dalam rutinitas hidup, dari Ayah. Bahwa hidup itu harus tertata, terkontrol, dan direncanakan.

Setiap pukul 5 pagi, misalnya, walaupun hari libur, kami sudah bangun. Ayah nyaris tidak pernah membangunkan kami. Tapi suara berisiknya membuka pintu dan jendela-jendela rumah kami, membuat kami terbangun.

Rumah panggung kami ada tiga pintu yang menuju balkon dan ruang tamu bagian depan. Ketiganya selalu dibuka oleh Ayah. Itu bukan pintu keluar masuk rumah.

Sejak tangga rumah dibangun di samping yang terbuat dari semen, pintu keluar rumah pun berada di samping. Itu tidak termasuk pintu yang selalu dibuka ayah setiap paginya.

Rumah kami juga banyak terdapat jendela. Di ruang tamu bagian tengah, ruang tamu bagian depan, dan ruang tamu bagian dalam, masing-masing terdapat dua jendela.

Di telingaku, aktivitas ayah membuka pintu dan jendela itu adalah untuk membangunkan seisi rumah. Baik untuk shalat Subuh, ataupun memulai aktivitas di pagi hari.

Ayahku adalah Kepala Sekolah (SD) di kampung kami. Ayah tidak pernah terlambat untuk berangkat ke sekolah. Sebelum pukul 7 pagi, ayah sudah stand by di kantor, atau memantau suasana anak-anak sekolah yang berdatangan.

Sebelum berangkat ke sekolah, ayah selalu memastikan pakaiannya rapi. Harus disetrika. Pada masa itu, belum ada setrika listrik.

Setrika terbuat dari besi, yang di dalamnya diberi bara api atau arang dari kayu untuk memasak. Ya, waktu itu kami memasak menggunakan kayu, belum punya kompor minyak apalagi kompor gas seperti sekarang.

Setiap hari Minggu petang, ayah menyetrika pakaian yang akan dipakainya ke kantor sepanjang sepekan itu. Ayah juga mencuci semua pakaiannya sendiri.

Kenapa pekerjaan itu tidak dilakukan oleh ibuku? Selain tidak ingin merepotkan ibu yang harus mengurus rumah tangga dan enam orang anak, ayah hanya percaya pada dirinya sendiri, yang bisa membersihkan, menata, dan merapikan perabotannya, sesuai standar kerapian dan kebersihan Ayah.

Kebiasaan Ayah itu juga, yang membuatku selalu menyetrika pakaian yang akan kupakai sekolah, setiap Minggu petang (sebelum Ayah menyetrika pakaiannya). Kebiasaan itu kulakukan sejak aku duduk di bangku SMP. Aku sudah mengenal kerapihan.

Aku juga mencuci pakaian sendiri, sejak kelas 5 SD. Kulihat ayah yang tak ingin membebani ibu, membuat aku si anak sulung ini, juga tak ingin membuat ibu semakin repot dengan perabotanku.

Dalam menjemur pakaian pun, ayah mengajarkan kerapihan. Pernah suatu hari aku dikritik.

“Coba kalau menjemur handuk itu dirapikan, disamakan antara ujung yang satu dengan ujung yang lain. Jangan asal taro dijemuran, lalu ditinggal pergi,” kata Ayah.

Ketika itu aku merasa tidak terima. Alangkan jeli dan detailnya Ayah ini, mengatur hidup kami. Sampai ke jemuran pun, harus sesuai instruksinya, kata batinku, yang saat itu sedang beranjak remaja.

Bila hendak bepergian, apalagi keluar kota, 2-3 hari sebelumnya Ayah sudah menata pakaiannya di dalam tas yang hendak dibawa.

Mencoba-coba pakaian yang hendak dikenakan, padahal itu bukan baju baru. Artinya sudah sering dipakai. Seakan hendak memastikan, pakaian itu masih pantas Ayah kenakan pada saat ini.

Satu hal lagi, ayah selalu menata barang-barangnya dengan rapi. Baik pakaian, buku-buku, dokumen, alat elektronik, dan sebagainya. Ayah menyimpan buku-buku tulisnya ketika masih sekolah. Tulisan ayah sangat rapi dan bagus. Bukunya tebal-tebal.

Ayah juga punya rak buku, yang kebanyakan isinya adalah khutbah Jumat. Ayah memang rutin menjadi khatib di masjid kampung kami, selama puluhan tahun.

Ayah juga menyimpan dokumen dengan sangat rapi, baik foto-foto, arsip, nota, yang hanya Ayah yang tahu di mana letaknya.

Saat ini, meski usianya sudah senja, Ayah mampu mengingat semua dokumen yang ia simpan. Bila kami sedang membicarakan sesuatu misalnya, Ayah langsung mengeluarkan dokumen atau foto-foto lama yang disimpannya. Tentu saja yang berkaitan dengan tema pembicaraan kami.

Sampai sekarang pun, meski sudah lama pensiun, Ayah sekali bangun pagi, tepat waktu, pada jam yang sama. Sebelum pukul 7 Ayah sudah mandi, sarapan, seolah masih hendak pergi ke kantor.

Banyak hal yang tentang kedisiplinan yang dilakukan Ayah. Namun tidak semuanya bisa kutiru dan bisa dilaksanakan.

Berita Terkait

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Top