Kenangan tentang Ali Rahman, Bupati Way Kanan yang Menjabat selama 18 Hari
(Foto: Ayahku, Anten Ali Rahman, dan adikku Tihang)
KESEDIHAN melanda keluarga besar di Kabupaten Way Kanan. Di tengah khusuk ibadah puasa, Senin siang, 10 Maret 2025, menyeruak kabar duka: Bupati Way Kanan, Ali Rahman, yang belum genap satu bulan dilantik, meninggal dunia.
Aku yang mendapat kabar di group perpesanan keluarga, terperanjat kaget. Berharap salah informasi, aku menelpon adikku yang mengirim pesan itu.
“Salah info gak?”
“Apanya?” tanya adikku, yang biasa dipanggil Pim itu.
Pim lantas bercerita, bahwa ia mendapat info dari sumber terpercaya. Oh iya juga, pikirku, bukankah Pim adalah (salah satu) orang yang dekat dengan Bupati Ali Rahman, yang biasa kami sapa Anten itu.
Perlahan, nada suara Pim berubah. Ada kesedihan mendalam di ujung sana. Perasaan yang sama pun menyesakkan dadaku. Aku putuskan sambungan telepon, karena Pim katanya sedang perjalanan menuju rumah duka.
Untuk memastikan kabar itu, aku mencoba searching di google. Belum ada. Mungkin kabar kematian yang kuterima begitu cepat, dibanding wartawan yang menulis berita.
Namun tak lama kemudian, wajah Anten dengan pakaian dinas bupati, mulai terpasang di status teman-teman yang menjadi kontak diponselku, dengan berbagai ucapan duka.
*****
Nama Ali Rahman, mengingatkan aku pada masa kecil, ketika masih tinggal di kampung. Rumah kami berjarak tak sampai 200 meter. Setiap berangkat dan pulang sekolah, aku pasti lewat depan rumah Anten. Sesekali aku juga melewati rumahnya ketika hendak berbelanja di warung, yang berderet di samping dan seberang rumah Anten.
Kampung kami namanya Negeri Baru. Lebih sering disebut dengan nama Simpang Empat. Kecamatan Umpu Semenguk (dulu masuk Kecamatan Blambangan Umpu).
Disebut Simpang Empat, karena di sana, ada empat persimpangan yang saling menyilang. Satu menuju Bandar Lampung, satu menuju ibukota Kabupaten–Blambangan Umpu, satu menuju Kecamatan Kasuy, dan satu lagi menuju Martapura, Sumatera Selatan.
Empat persimpangan itu tak jauh dari rumah keluarga Anten. Sedang kan rumah panggung kami, berada di jalan yang menuju Martapura. Tepatnya di depan Puskesmas dan Masjid Desa Negeri Baru.
Berbeda dengan rumah kami dan rumah pada umumnya di kampung, rumah Anten yang juga terbangun dari kayu, posisinya lebih rendah dari jalan, lebih mirip dengan gudang memanjang ke belakang. Mungkin dulunya pernah membuka warung. Tapi mungkin juga rumah itu banyak terdapat hasil bumi yang lazim saat itu, seperti lada dan kopi.
Ketika aku masih duduk di sekolah dasar (SD), saat melewati rumah Anten, aku sering melihat Anten dan juga adik-adiknya duduk di pinggir jalan raya beraspal. Anten dan adik-adiknya, yang semuanya laki-laki, memiliki wajah yang khas: putih kemerah-merahan. Sepertinya menurun dari ibunya.
Anten mungkin sosok yang pendiam, dibanding adik-adiknya. Dia jarang menyapa. Yang sering menyapa adalah adik-adiknya. Tapi aku tahu dia, apalagi dia adalah anak tertua di keluarga itu.
Ayah Anten adalah seorang guru. Sama dengan Ayahku. Saat sedang kuliah semester akhir di kota ini, aku pernah mendengar seorang kakak kelas bercerita. Dia mengenal ayahku dengan motor vespanya. Seorang guru yang sangat disegani di kampung.
“Di kampung kamu kan ada dua guru legendaris. Guru Daud dan Guru Fadir.”
Aku terhenyak mendengar istilahnya: legendaris. Uft, istilah apa pula itu. Guru Daud dan Guru Fadir itu sampai sekarang masih ada. Guru Daud adalah ayahnya Anten. Dan Guru Fadir adalah ayahku.
Ketika kutanya bagaimana dia bisa tahu tentang ayah dan kampung halamanku, si kakak kelas tak menjawab. Ya sudahlah, tak penting juga. Mungkin dia, yang seorang aktivis lingkungan, pernah datang ke kampungku, dan menetap untuk beberapa lama.
Guru Daud ayah Anten adalah seorang guru di sekolah lain. Bukan guru di sekolah kami.
Aku yang ketika itu masih anak-anak, segan menyapa beliau yang seorang guru terhormat. Ketika itu aku berpikir, mungkin beliau tidak kenal denganku. Tapi itu tidak mungkin juga, karena jarak rumah dan hubungan kekeluargaan kami sangat dekat.
Ketika aku sekolah SMP, aku jarang melihat Anten lagi. Hanya adik-adiknya yang kulihat masih sering duduk di pinggir jalan, atau di gorong-gorong rumah. Belakangan kudengar kabar, Anten melanjutkan sekolah SMA di Bogor.
Ada satu kisah yang selalu kuingat, tentang ibunya Anten, yang kami panggil Wak Sinar (wak adalah nama panggilan kekeluargaan. Sedangkan Sinar, adalah namanya).
Waktu itu ibuku sedang menggoreng rempeyek kacang untuk lebaran, di bawah rumah panggung kami. Wak Sinar datang ke rumah kami untuk suatu urusan. Ia mencicipi rempeyek yang baru diangkat dari penggorengan.
Mungkin karena rasanya renyah dan enak, ketika akan pulang ia mengambil segepok rempeyek matang menggunakan tangan kanannya, dan menyelipkan uang Rp 2000 kepada ibuku yang masih sibuk menggoreng rempeyek.
Ibu yang masih kaget dengan Wak yang mengambil rempeyek dari baskom, lebih kaget lagi ketika di beri uang. Aku yang ketika itu masih SD, yang melihat itupun terkaget. Betapa pemurahnya Wak Sinar ini. Uang Rp 2000 pada masa itu, mungkin sama dengan Rp 200 ribu saat ini. Hanya untuk setangkup rempeyek.
*****
Tamat SMA, aku melanjutkan kuliah di Kota Bandar Lampung. Dan masih menetap sampai saat ini. Sekitar tahun 2013, aku mendengar kabar Anten menjadi Kepala Dinas Bina Marga Provinsi Lampung. Sebelumnya ia menjadi kepala dinas yang sama di Kabupaten Lampung Selatan.
Tapi aku tak pernah berjumpa dengannya. Hanya mendengar namanya saja, dari ayahku, yang katanya Anten punya rumah di Bandar Lampung, tak jauh dari rumah kami.
Ketika pada suatu kali aku datang ke Kantor Dinas Bina Marga Provinsi Lampung untuk wawancara tentang arus mudik, aku yang berprofesi sebagai wartawan Metro TV, tidak lagi menemukan Anten. Katanya sudah pindah ke Way Kanan. Tidak menjadi kepala dinas lagi di provinsi lagi.
Ah, padahal aku ingin sekali bertemu dengan Anten. Apalah kata Anten, bila bertemu denganku, yang sudah emak-emak dan bukan kanak-kanak seperti di kampung lagi?
*****
Nama Anten terus hidup dalam keluarga besar kami. Selain aku si anak sulung, semua adik-adikku tinggal di Way Kanan. Anten begitu dekat dengan ayah dan ibuku.
Pada tahun 2019, ibu dan ayahku diberi kesempatan umroh oleh Anten. Tapi karena ayah merasa fisiknya sudah tak kuat, kesempatan itu diberikan pada adik keduaku, Tihang Fahri. Jadilah Tihang berangkat bersama ibu.
Bagi ibu, itu adalah umroh kedua, sebenarnya. Sebelumnya, bersama ayahku, sudah pernah umroh dan menunaikan ibadah haji juga. Namun kesempatan untuk datang lagi ke Tanah Suci, tentu kegembiraan tak terkira bagi ibu, dan juga adikku.
Nama Anten makin sering disebut oleh adik laki-laki pertamaku, Pim Fahri. Rupanya, Pim menjalin hubungan yang sangat dekat dengan Anten. Mereka sering bertemu dan berbincang terutama di malam hari. Mungkin ada pekerjaan yang lebih adem bila dikerjakan pada malam hari.
Pim bilang, Anten sering menanyakan kabarku. Hal yang sama sebenarnya juga sering disampaikan Lia, adik bungsuku.
“Setiap ketemu saya, Anten selalu nanyain Atu. Memang Atu sama Anten satu angkatan ya, sekolahnya,” tanya Lia.
Kadang aku berpikir, untuk apalah Anten bertanya tentang aku. Tapi mungkin juga ia ingin tahu, bukankah kami bertetangga dekat dan masih keluarga. Mungkin ia penasaran dengan kabarku yang “menghilang” dari kampung.
Suatu hari, Pim bercerita. Kalau Anten ikut prihatin atas kegagalanku dalam seleksi komisioner Bawaslu Provinsi Lampung. Padahal aku sudah masuk babak final, 8 besar, yang mengikuti fit and proper test di Jakarta, dan hanya perempuan satu-satunya.
Dari cerita Pim, Anten ikut kecewa, namun tidak tahu harus berbuat apa untuk membantuku. Pun ketika aku gagal lagi dalam seleksi berikutnya. Anten ingin membantu, tapi posisinya tidak pada jalur itu.
Aku mendengar cerita Pim saja sudah senang. Bahkan mendengar Pim dekat dengan Anten juga sudah sangat senang. Bagaimana tidak, Anten adalah wakil bupati di kabupaten kami.
*****
Ketika Anten mencalonkan menjadi Bupati Way Kanan, kesibukan Pim ikut meningkat. Intensitas pertemuan mereka semakin padat. Terutama di malam hari. Entahlah, apa detail yang mereka kerjakan. Pim memang punya multitalenta, terutama di bidang IT dan desain.
Ketika Anten menang dalam pilkada Way Kanan, kebahagiaan kami meluap-luap. Anten menjadi bupati. Orang baik yang rendah hati asal Kampung Negeri Baru itu kini menjadi bupati.
Desember lalu, aku mendapat kabar dari Pim, kalau Anten akan menikahkan anak sulungnya Galang, dengan adiknya Chusnunia Chalim (Nunik), mantan Wakil Gubernur Lampung yang juga Ketua PKB Lampung.
Aku kenal Mbak Nunik, beberapa kali sempat bertemu dan berkomunikasi. Aku juga kenal dengan Sasa, adik bungsunya yang akan menikah dengan Galang. Aku takjub dan ikut bergembira dengan pernikahan tersebut.
Kesibukan Pim menjadi tim Anten di rumah itu kembali meningkat. Yang tadinya hanya persiapan pelantikan pada 20 Februari 2025, juga akan menggelar serangkaian acara pernikahan anak sulung pada 22—27 Februari. Di Lampung Timur, Bandar Lampung, dan juga Way Kanan. Aku membayangkan, betapa sibuknya Anten sebagai bupati terpilih, ayah, dan tuan rumah.
*****
Lebaran tahun lalu, aku sempat datang bersilaturahmi ke rumah Anten. Aku benar-benar ingin bertemu Anten, yang katanya sering bertanya tentang kabarku.
Sayangnya, Anten sedang tidak di rumah. Yah, namanya juga pejabat. Banyak urusan. Kudengar dari Pim, Anten sedang menghadiri open house di rumah bupati.
Aku hanya bertemu dengan Galang dan keluarga besar lainnya. Bertemu juga dengan sejumlah kawan lama di kampung.
Galang yang ketika itu sudah terpilih menjadi anggota DPRD Lampung tampak begitu ramah, dan memberikan THR kepada tiga anakku.
Ketika Anten memenangkan pilkada dan juga setelah pelantikan, aku mengucapkan selamat melalui pesan singkat. Aku tahu Anten sibuk. Mungkin dia tidak akan membalas pesanku.
Untuk itulah, aku selalu mengirim pesan beberapa hari setelah momen itu terjadi, baik saat penetapan maupun pelantikan sebagai bupati.
Ternyata Anten membalas pesanku. Dalam bayanganku, Anten membalas pesanku dengan tersenyum ramah. Sambil mengingat masa-masa ketika masih kecil di kampung dulu.
Anten memang rendah hati. Dia sering menyapa seseorang lebih dulu. Adik perempuanku, si Cici bercerita, dia dan keluarganya pernah bertemu Anten di sebuah toko bangunan di kota ini.
“Anten yang datang menghampiri kami dan menyapa. Kalau Anten tidak menghampiri, mungkin kami tidak akan menyapa. Seganlah, beliau kan seorang wakil bupati,” kata Cici.
*****
Dukacita itu begitu membahana. Kulihat status di kontak ponsel dan laman facebookku, banyak sekali yang menulis keterkejutan dan duka cita. Belum lagi video-video yang begitu mengharu biru.
Aku juga memasang dan memposting status dan video duka itu. Setiap kali ada yang mengomentarin statusku, rasa duka itu makin membuncah. Aku lalu memutuskan tak lagi memasang status tentang itu.
Tapi mataku tak dapat dicegah, melihat status orang yang masih membagikan kabar duka itu. Video detik-detik Anten berpulang, hingga suasana pemakaman, membuka kembali rasa duka itu.
Selamat jalan Anten. Kenangan tentangmu akan selalu hidup di hati kami, keluarga besar Simpang Empat, Negeri Baru. Tentang seorang anak guru yang pernah menjadi bupati. Walaupun hanya 18 hari.
Bandar Lampung, 13 Maret 2025







