Mengenal Black Mold, Jamur Berbahaya di Rumah Kita


Beberapa waktu lalu, aku sering mendengar istilah black mold (jamur hitam), sebagai penyebab penyakit broncho pneumonia (BP).

Istilah itu awalnya kudengar dari anak sulungku, Aliza, yang menyatakan betapa tidak sehatnya rumah kami, yang di setiap kamarnya terdapat bercak-bercak hitam, baik diplafon maupun di dinding-dinding kamar.

Aku yang belum sempat menanggapinya serius, tiba-tiba melihat sebuah video di aplikasi Tiktok tentang anak yang meninggal dunia, karena penyakit tersebut, yang diduga karena black mold.

ABelakangan, banyak sekali konten seperti itu. Curhatan para emak-emak, yang anaknya terkena BP, yang kebanyakan masih di bawah usia 2 tahun.

Kebanyakan anak mereka meninggal. Tapi tak sedikit pula yang sembuh, tapi masih sering kumat-kumatan. Menurut Aliza, black mold itu memang lagi trending, sebagai penyakit yang kerap disepelekan oleh penghuni rumah.

Aku tentunya masih “sangat trauma” dengan penyakit tersebut. Anak laki-lakiku, Alvin Rafa, meninggal pada usia 2,5 bulan, karena penyakit Pneumonia, yang berawal dari BP tersebut.

Sampai kemudian pada awal bulan Mei 2025 lalu anak bungsu kami, Ayesha (5 tahun), dilarikan ke rumah sakit. Penyebabnya, sore hari di hari Kamis itu badannya bergetar hebat. Bibir dan mukanya membiru.

Aku yang saat itu sedang rebahan, beristirahat tipis-tipis usai mengedit sejumlah berita, sambil menunggu kontak dari mahasiswa yang mengundangku untuk mengisi materi tentang jurnalistik pada Sabtu 3 Mei, untuk zoom persiapan acara di sore itu.

Kudengar suamiku, yang biasa ku panggil Ajo, berteriak keras,” Ini Ayesha kejang. Ayesha kejang.”
Aku terkesiap, dan langsung terduduk.

Kulihat Ayesha berjalan masuk ke kamar yang sedang ku tempati. Ia berjalan menuju ke arahku. Badannya kulihat limbung, bergetar-getar. Tapi ia lebih tampak seperti orang sedang menari, dengan gerakan tubuhnya yang meliuk-liuk sambil berjalan itu.

Cepat kudekap Ayesh, kugendong, dan kurebahkan. Kuajak Ajo bersiap untuk membawa Ayesha ke UGD Puskesmas. Aku ingat, di Puskesmas kami ada UGD-nya, yang buka 24 jam, meskipun sedang tanggal merah seperti hari ini.

Ajo tampak enggan. Ia tidak menjawab. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Yang jelas, aku langsung berganti pakaian. Kulirik Ayesha yang tampak menggigil, dan kemudian memilih duduk sambil menungguku bersiap.
“Aih, kita langsung aja ke IGD rumah sakit,” kataku makin cemas.

Ajo langsung bersemangat untuk bersiap. Mungkin tadi ia enggan, karena kusebut Puskesmas. Kalau rumah sakit, Ajo lebih setuju.
Sempat ada perdebatan, karena Ajo ingin naik motor. Alasannya supaya cepat. “Anaknya gemetar kedinginan begini, kok masih mikir naik motor sih,” kataku sedikit kesal.

Ajo yang masih juga ragu, pakai bertanya pada Ayesha.

“Yesh, mau naik motor apa mobil?”

“Mobil,” jawab Ayesh.

Mau tak mau, papanya mempersiapkan mobil. Fio, kakak Ayesh, juga diajak untuk bantu menjaga di rumah sakit. Sedangkan anak sulung kami, Aliza, yang sedang sibuk belajar di kamarnya, kami tinggal di rumah.

Hari itu, sebenarnya adalah hari kedua badan Ayesha panas. Aku sempat was-was juga sebenarnya. Kemarin siangnya, saat badan Ayesh panas, kuberi ia obat penurun panas. Bukannya turun, sore harinya suhu tubuh Ayesh jadi 39 derajat.

Pagi hari itu, badan Ayesh masih panas. Siang hari panasnya sempat turun, makanya aku sempat agak santai. Dan sore itu, sebenarnya Ayesha sedang belajar membaca bersama papanya. Kudengar sayup-sayup dari kamar depan, Ayesha belajar membaca karena sebentar lagi akan sekolah TK.

Tiba di IGD rumah sakit, dan setelah dilaksanakan prosedur administrasi, tubuh Ayesha masih kedinginan. Ndilalah, aku kok tidak terpikir untuk membawa selimut. Jangankan itu, kacamataku saja tak terpikir untuk kubawa dan kupakai.

Saat melihat anak sakit, setelah berganti pakaian dan memakai jilbab seadaanya, aku merasa sudah siap untuk berangkat.

Untung di tasku sudah ada dompet, yang di dalamnya kartu-kartu BPJS kami sekeluarga, sudah ditata oleh Fio. Sehingga ketika Ajo berulang-ulang menanyakan, apakah kartu BPJS sudah kubawa, aku yang pikirannya sudah tidak mampu berpikir apa-apa, hanya mampu memastikan, dompet itu ada di dalam tas selempang yang kubawa.

Setelah dicek kadar oksigen, Ayesha dinyatakan sesak napas. Ia pun harus dinebul (uap). Aku jadi teringat Aliza dulu, yang waktu kecil sudah terkena asma, sehingga beberapa kali harus dibawa ke rumah sakit karena sesak napas.

Ayesh yang risih dengan alat nebul, berkali-kali menolak dan menepis selang sungkup oksigen di hidungnya. Ia juga berkali-kali melapas selang oksigen yang dimasukkan dalam lubang hidungnya.

Untung ada kakaknya si Fio, yang bisa membujuk Ayesh, dengan bermain game di ponsel, untuk mengalihkan perhatiannya terhadap alat-alat kesehatan itu.

Belum lagi alat infus di tangannnya, membuat Ayesh benar-benar risih dan ingin melepaskan diri. Akan halnya infus ini, karena gagal ditusuk di tangan kanan, kemudian pindah ke tangan kiri, menimbulkan trauma sendiri bagi Ayesha.

Sampai kemudian dokter jaga menyatakan Ayesha harus dirontgen, untuk melihat penampakan paru-parunya. Sampai di situ, perasaanku makin tak enak. Tapi tak bisa kutunjukkan, karena harus tetap positif thinking terhadap proses pengobatan.

Setengah jam usai rontgen, aku ingin tahu apa langkah selanjutnya, karena hari sudah hampir magrib. Aku pun mendatangi perawat, dan menanyakan tindak lanjutnya, apakah Ayesh ini akan dirawat?

“Sudah pasti dirawat Bu. Karena dia sesak napas, dan dari hasil rontgen tadi, Ayesha terkena broncho pneumonia.”

Deg, seketika pandanganku terasa gelap. Iya, gelap. Kutatap muka Ajo, yang juga langsung tampak muram.
Tak perlu ada kata yang terucap, di hati kami masing-masing sudah dibaluti kecemasan luar biasa.

Peristiwa 15 tahun lalu, saat kehilangan Alvin, terbayang lagi. Apalagi tanggal lahir Ayesha ini, sama persis dengan Alvin, yaitu 25 April.

Sejak kelahiran Ayesha, bayang-bayang proses Alvin lahir, kemudian sakit, masuk rumah sakit, sempat pulang ke rumah, dirawat di ICU, lalu tiada, terasa mewarnai bulan-bulan pertama kelahiran Ayesha. Apalagi saat ia lahir, kondisinya tidak baik, dan harus dirawat di inkubator.

Tapi ah, sekuat tenaga kutepis cerita lama itu. Ini Ayesha, bukan Alvin. Ayesha pasti sehat. Apalagi ini, dia terkena BP, ketika usianya sudah 5 tahun. Tubuh Ayesha sudah jauh lebih kuat.

Lantas, apakah Black Mold itu?

Black mold, atau dikenal juga sebagai Stachybotrys chartarum, merupakan salah satu jenis jamur yang dapat tumbuh di lingkungan dalam ruangan. Jamur ini tumbuh dan berkembang biak di lingkungan yang lembap.

Jamur ini terbentuk dari kelembaban tinggi di dalam ruangan, misalnya karena bocoran atau rembesan air hujan, atau kurangnya ventilasi.

Meskipun namanya “black mold,” jamur ini sebenarnya dapat memiliki warna hijau gelap hingga hitam. Black mold adalah jenis jamur yang dapat menghasilkan toksin yang berpotensi berbahaya bagi kesehatan manusia. Diantaranya dapat menyebabkan gangguan pernapasan.

Terlepas dari apakah sakitnya Ayesha berkaitan langsung dengan black mold atau tidak, yang jelas, ketika kusampaikan pada dokter akan hal banyaknya jamur di dinding dan plafon rumah kami, dokter menyarankan agar segera dibersihkan.

Dan jadilah, niat kami merenovasi rumah mau tak mau harus dilaksanakan. Demi kesehatan penghuninya.

Berita Terkait

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Top