Merindukan Rumah Panggung Kami
Suasana lalu lintas di perempatan Jalan Lintas Sumatera Way Kanan
Seperti kebanyakan masyarakat Lampung pada umumnya, rumah kami di Kampung berbentuk panggung. Rumah yang dibangun menggunakan kayu-kayu dan papan. Fungsi rumah panggung saat itu adalah agar terhindar dari binatang buas dan bencana banjir. Yang jelas, tetangga kiri kanan di kampung kami semua rumahnya panggung.
Berada di rumah panggung, rasanya begitu elegan. Bayangkan, dengan tiangnya yang tinggi, kita bisa leluasa melihat banyak hal. Letaknya yang lebih tinggi dari jalan, membuat kita bisa mengamati arus lalu lintas (rumah kami berada di tepi Jalan Lintas Sumatera) dengan leluasa.
Kita juga bisa melihat orang yang lalu lalang di jalan. Pada kisaran tahun 1980 hingga 1990-an, kebanyakan warga kampung lalu lalang dengan berjalan kaki. Atau melihat orang yang masuk ke halaman rumah, tanpa disadari oleh orang yang sedang kita perhatikan.
Dari rumah panggung, saya dan adik-adik sering main tebak-tebakan, bus apa yang akan lewat di depan rumah kami. Sebuah tebak-tebakan yang tidak bermutu sebenarnya. Bagaimana bisa menebak bus yang akan lewat di rimba jalan lintas Sumatera. Bukankah bus itu banyak, dan merk bus juga beraneka ragamnya. Ada yang produk dari Bengkulu, Padang, Aceh, Medan, dan seterusnya.
Tapi itulah uniknya tebak-tebakan anak zaman dulu, yang belum mengenal ponsel, bahkan jarang menikmati aliran listrik. Sangat alami. Seperti kata stiker, problem saat itu hanyalah PR matematika.
Rumah kami besar dan lebar. Ada banyak kamar dan ruang tamu. Ayah memang suka menerima tamu, sehingga sampai menyiapkan dua kamar khusus untuk menerima tamu.
Ruang tamu juga di desain bentuk dan ukurannya, sesuai peruntukannya. Ada ruang tamu untuk anak-anak, ruang tamu untuk ibu-ibu, dan ruang tamu utama–tempat ayah sering menerima tamu-tamunya.
Ada juga ruang tamu paling depan yang menghadap jalan raya, diapit oleh ruang tamu kecil dan kamar tamu, yang lebih berfungsi sebagai balkon. Di situlah keluarga kami sering berkumpul pada malam hari, bercengkerama sambil menatap rembulan. Atau sore hari tempat kami berdiri sambil bermain tebak-tebakan merk bus yang akan melintas
Meningkat remaja, ada satu ketidaknyamanan yang muncul. Yaitu ketika ayah mengatakan, rumah (panggung) yang kami tempati, satu saat akan menjadi milik adik laki-lakiku.
Tidak ada yang salah dengan kata-kata ayahku. Adik laki-lakiku itu, adalah anak tertua dalam adat Lampung. Sedangkan saya, si anak sulung tapi perempuan ini, hanyalah nomor pertama dari segi nomor urut. Bukan akan tertua dalam adat.
Makin kami beranjak dewasa, pernyataan ayah itu makin sering kudengar. Bahwa rumah yang sedang kami tempati ini akan diberikan pada adik laki-lakiku itu. Entah apa maksud ayah mengatakan itu. Tapi yang jelas saya tahu, ayah tidak sedang bercanda.
Sampai kemudian pada tahun 2006, adik laki-lakiku itu menikah. Dia menikah lebih dahulu daripada aku. Orang-orang kampung mungkin melihat aku tidak terlalu gembira dengan pernikahan itu. Mereka menyangka aku sedih karena dilangkahi adik.
Banyak diantara mereka yang memandangku dengan rasa prihatin. Aku sebenarnya sudah berusaha tersenyum lepas, tapi entah, mungkin benar kata orang, bahwa apa yang ada di dalam hati, akan terpancar di wajah. Aku terlihat tak begitu bahagia.
Sebenarnya bukan soal kelangkahan yang membuat aku gundah. Tapi soal “kehilangan” rumah panggung kami. Aku memang jarang pulang kampung. Tapi bila rasa itu tidak nyaman, bisa-bisa aku semakin jarang pulang kampung.
Pertama, aku mungkin tidak akan nyaman pulang ke rumah adikku yang sudah menikah, sedang aku belum. Kedua, posisiku bisa berubah menjadi tamu di rumah yang bukan lagi rumah bersama kami. Hal kedua ini begitu mengganggu pikiranku. Aku seperti akan kehilangan kenangan di masa kecil.
Ketika aku kembali ke Bandar Lampung dua hari kemudian, aku sengaja menunggu bus di jalan lintas yang berada di seberang rumah kami. Sebuah jalan lintas antarprovinsi, yang untuk menujunya aku harus menyeberang jalan, melewati jalan penghubung di samping puskesmas dan masjid kampung kami.
Saat melewati jalan penghubung yang berarti membelakangi rumah panggung kami itu, aku berkali-kali menoleh ke belakang. Air mataku berjatuhan sulit untuk dibendung.
“Rumah itu bukan lagi milik keluarga besar kami. Aku telah kehilangan tempat kenangan masa kecil,” kataku pada seorang teman, yang turut ikut bersamaku pulang kampung.
“Jangan bicara begitu. Itu tetap rumah bersama kalian,” kata si teman menghibur.
Aku menggeleng keras-keras. “Tidak. Sejak kulangkahkah kami keluar tadi, itu bukan lagi rumah kami,” kataku dengan napas menderu.
Aku mungkin saja berlebihan dalam menyikapi situasi tersebut. Berbagai perasaanku memang sedang bercampur aduk. Tapi yang jelas, sejak peristiwa itu, aku tetap pulang kampung. Kemana lagi kalau bukan ke rumah panggung kami. Di sana masih ada kedua orang tuaku, yang saban lebaran harus tetap kukunjungi.
Sampai suatu hari, setelah aku menikah, anak keduaku meninggal dunia pada usia 2,5 bulan. Kemana lagi dibawa jenazah anak laki-lakiku, bila tidak pulang kampung, ke rumah besar kami. Di rumah itu, anakku disemayamkan.
Kami tiba jelang tengah malam dari Bandar Lampung, esok siangnya, pukul 10.00, anakku yang sempat dirawat selama sepekan di ruang ICU rumah sakit karena pnemumonia itu, dimakamkan. Ayahku memilih memakamkan anak kami yabg bernama Alvin Rafa itu, di tengah kebun karet milik keluarga, sekitar satu kilometer dari rumah panggung kami.
Tak lama kemudian, seorang adikku yang lain menikah. Dia membangun rumah di dekat kebun karet yang menjadi makam Alvin Rafa. Ayah dan ibu ikut adikku tersebut, karena lahannya jauh lebih luas. Lahan itu sebelumnya merupakan kebun kopi keluarga kami.
Tapi karena harga kopi terus turun, ayah menyulapnya menjadi kebun rambutan. Ketika harga rambutan turun, lahan dibiarkan begitu saja. Sementara itu di sekitar kebun kami itu sudah banyak dibangun rumah-rumah penduduk dengan gaya masa kini. Rumah dibangun dengan semen dan batu bata. Bukan lagi rumah panggung.
Rasa kehilangan akan rumah panggung itu menyeruak lagi. Ketika pulang kampung, tujuan utamaku pastilah untuk menengok ayah dan ibuku, kakek dan nenek dari anak-anakku. Sehingga aku pun pulang dan menginap di rumah adik yang diikuti oleh ayah dan ibuku.
Dulu aku memang jarang sekali pulang kampung. Paling hanya setahun dua kali saat lebaran. Liburan panjang kuliah pun kadang tidak pulang kampung, karena begitu sibuk dengan aktivitas di kampus. Saat itu aku yang orang kampung ini, ketika kuliah di kota, jadi begitu getolnya ikut organisasi di kampus. Terutama di pers atau jurnalistik kampus.
Bagaimana tidak, aku menjadi pemimpin redaksi di tiga pers kampus, mulai dari penerbitan tingkat fakultas, universitas, hingga organisasi ekstea kampus.
Kesibukan makin menjadi jadi ketika saat masih menjadi mahasiswa, sudah menjadi jurnalis di Majalah Tempo untuk provinsi Lampung dan Bengkulu. Aku benar-benar rindu kampung halaman sebenarnya.
Tapi saat itu, arus komunikasi belum selancar sekarang. Di kampung kami belum ada sinyal ponsel. Aku yang termasuk gila kerja pada masanya itu, begitu khawatir, bila ada penugasan dari Majalah Tempo, luput dikerjakan atau telat diketahui.
Pernah dalam situasi gelap, bus yang saya tumpangi dari habis meliput dari Bengkulu berhenti, tepat di rumah depan rumah panggung kami. Aku terperanjat. Kulirik jam tangan, waktu menunjukkan pukul 03.20 pagoi. Ingin rasanya aku melompat turun, dan berlari ke rumah panggung kami. Melepas rindu pada ibu, ayah dan adik-adikku tersayang.
Tapi tidak, bukankah hasil liputanku sudah ditunggu. Aku harus tetap melanjutkan perjalanan ke Bandar Lampung, untuk menulis laporan. Bila aku turun, tidak mudah pula mencari bus menuju kota pada masa itu. dan aku juga pasti mengecewakan orang tua dan adik-adik, bila baru tiba di kampung, sudah kembali lagi ke kota.
Sekarang, jalur komunikasi dan transportasi sudah sangat lancar. Bukan hanya bus yang dulu ada jam-jamnya yang menuju kampung kami, tapi travel yang melayani antar jemput alamat juga sudah berseliweran di kampung kami. Belum lagi jalur layanan kereta api yang sudah semakin baik.
Bisa dikatakan, untuk trasportasi dan komunikasi sudha tidak lagi masalah. Hanya menyesuaikan dengan jadwal anak-anak sekolah, dan jadwal pekerjaanku. Itu terbilang mudah, tak sesulit dan seribet dulu, yang di kepalaku waktu adalah kerja kerja dan kerja.
Tapi meski bisa dikatakan sering pulang kampung, aku sangat jarang datang ke rumah panggung. Selain karena orang tua menempati rumah adik yang berada di kawasan kebun karet, juga terasa aneh bila aku pulang dan menginap di rumah adik laki-laki. Aku juga tidak ingin merepotkan iparku.
Paling saat lebaran saja kami berkumpul di rumah panggung. Pada saat lebaran itulah aku melepas rindu pada rumah panggung kami. Duduk di ruang tamu kecil, ruang keluarga, ruang tengah, masuk ke kamar yang dulu pernah kutempati, sampai menengok halaman belakang rumah. Ada rasa nyeri saat aku aku meresapi momen-momen tersebut.
Tapi tentunya aku tak bisa berlama-lama larut dalam nostalgia. Saat adik-adikku dan keluarganya berdatangan, kami foto bersama. Mulai dari atas rumah panggung, di atas rumah kami yang legendaris, dan halaman rumah kami yang luas. Setelah itu, kami geser ke rumah adik-adik yang lain, yang meski rumahnya masih di kabupaten yang sama, namun letaknya tidak berdekatan.
Kujelaskan pada anak-anakku, ini rumah mama waktu masih kecil. Hanya anak sulungku yang paham soal rumah itu, karena saat masih balita, kami pulang kampung masih ke rumah itu.
Kadang aku merenung, mengapa tidak seperti orang-orang lain, yang ketika pulang kampung, bisa merasakan kembali nuansa masa lalu, nuansa masa kecil. Saat masih anak-anak, tinggal bersama ayah ibu dan adik-adik, berangkat ke sekolah, menyiram bunga, duduk nongkrong di tepi kolam ikan depan rumah, dan menatap lalu lintas di jalan raya.







