Pikiran Positif Ala Tukang Ojek


Siang yang panas terik, di tengah musim hujan. Aku memesan ojek online, untuk pergi ke suatu tempat. Entah, kenapa bila sedang tidak hujan, hari terasa begitu terik. Mungkin karena belakangan ini hampir setiap hari turun hujan, dan kerap menyebabkan banjir.

Meski panas menyengat, si abang ojek tampak sangat bersemangat bercerita. Aku jarang berbasi basi bila sedang naik ojek online (ojol). Selain tidak nyaman dengan posisi duduk yang sedang dibonceng, aku takut menganggunya menyetir bila mengajaknya mengobrol.

Dan memang jarang pula ojol yang banyak bercerita seperti ojol yang kutumpangi hari ini. Biasanya, bila berbasi-basi sekenanya saja, sekedar menanyakan tujuan.

Berbeda halnya bila aku sedang menumpang taksi online. Aku sering terlibat obrolan dengan si supir, bila dirasa nyambung. Posisi duduk yang nyaman sebagai penumpang, mobil yang nyaman dan ber-AC, tentu menyenangkan untuk mengobrol.

Si abang ojol ini menyapaku dengan riang. Banyak sekali yang diucapkannya sepanjang perjalanan. Mulanya aku kurang menanggapi, karena kupikir sebentar lagi juga dia tidak akan berbicara lagi. Seperti ojol-ojol lainnya.

Tebakanku salah. Dia terus saja berceloteh. Diantaranya, dia berbicara tentang konsep bersyukur dalam hidup.

“Kalau saya sih Bu, bersyukur saja walaupun jadi tukang ojek begini. Mau apalagi, toh rezeki saya ya jadi tukang ojek,” katanya ringan, sambil tertawa.

“ Ya Pak, semoga nanti rezeki anaknya jauh lebih baik,” kataku.

Aku tak enak, sejak tadi dia banyak bercerita, masa aku tak menimpali.

Namun si tukang ojek tidak menjawab pernyataanku. Dia terus saja bercerita.

“Dulu rumah saya di Blok….(dia menyebut alamat rumah secara spesifik)”

“Perumahan Beringin Raya?” tanyaku.

“Iya”.

“Tapi terus saya bangkrut, karena bank. Rumah hilang, tinggal motor ini saja yang bisa saya jalankan,” katanya.

“Ngambil bank untuk usaha, atau rumah di sita bank?” tanyaku, mulai tertarik.

Setelah pertanyaan itu kuucap, aku langsung menyesalinya. Kenapalah aku pakai tanya begitu, khawatir dia tersinggung. Tapi, aku mesti menanggapi apa pula, pikirku.

“Ngambil bank untuk usaha. Dulu saya dagang,” sahutnya masih dengan nada lugas.

Aku tercenung. Tapi ngobrol dengan supir ojol, tentunya tak senyaman dengan supir taksi online. Aku membiar saja dia banyak bercerita, di tengah deru kendaraan yang lalu lalang.

“Harta juga gak dibawa mati. Jadi secukupnya saja. Itu orang yang kaya raya akan berat juga pertanggung jawabannya di akherat,” katanya lagi.

“Iya. Pemimpin dan pejabat negara, juga akan dihisap kepemimpinannya di dunia,” sahutku, turut melampiaskan kekesalan pada situasi politik negara ini.

SI tukang ojek tertawa, mendengar kalimatku. “Itu yang korupsi 1000 triluin, duitnya juga mau diapain. Coba kalau dibagikan ke seluruh rakyat Indonesia, kita semua bisa dapat 4 juta perorang,” ujarnya.

Rupanya tukang ojek ini sudah menghitung pembagianku, pikirku. Hebat sekali, sampai ke situ pikirannya. Beda dengan aku, yang sudah cenderung tak peduli dengan kelakuan para koruptor.

“Iya lah, 1000 triliun dibagi 250 juta rakyat Indonesia,” katanya.

“Itu uangnya kalau dibentangkan, sebanyak apa ya. Mungkin bisa penuh dari Sabang sampai Merauke,” katanya lagi.

“Entah. Nanti setelah mati, bagaimanalah kehidupannya,” kataku.

“Ya, pasti siksaannya luar biasa. Tapi belum tentu juga, kalau misalnya dia berbuat baik, bertobat, dan Tuhan mengampuni dosanya, dia akan husnul khatimah,” kata si ojek.

Aku tak mendebat si ojek. Aku setuju saja dengan pemikirannya. Yang aku salut, begitu positif thinkingnya dia seorang pelaku koruptor pun. Dan tentang rahmat Allah yang bisa saja tidak disangka-sangka itu.

Aku salut, karena dia pikirannya berpositif thinking. Bukan lantas memaki-maki si korupsi, seperti pada umumnya. Dia memilih jalan tengah.

Mendekati lokasi tujuan, aku berusaha mengalihkan topik.

“Panas sekali ya hari ini. Udah tiga hari tidak hujan,” kataku.

“Itu, di depan sudah mendung. Paling juga sore ini akan hujan,” katanya serasa menunjuk kejauhan.

“Kalau udah terbiasa hujan, sekali tak hujan, berasa dunia ini begitu terik,” ujarku.

“Banyak yang ngeluh karena hujan menyebabkan banjir. Menurut saya itu aneh. Hujan ya banjirlah. Namanya juga air. Itu bukan musibah, itu rahmat. Hujan dan air itu rezeki,” katanya.

Ada-ada saja tukang ojek ini, pikirku. Dia memang benar, sama sekali tidak salah. Dan aku setuju.

Tapi pikirannya yang positif dan riang ini, memang agak berbeda. Ketika dimana-mana orang mengeluhkan banjir, dia masih bisa menyebut itu sebagai rezeki.
Baiklah. Tujuanku sudah dekat. Aku akan mencoba untuk selalu berpositif thinking sepertimu ya Pak Ojol. Semoga hidupmu selalu bahagia.

Bandar Lampung, 8 Maret 2025

Berita Terkait

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Top