THR Pemutus Silaturahmi?
THR (te ha er) menjadi kata yang paling viral setiap mendekati hari raya Idulfitri dan pada hari raya tersebut. Kata tersebut banyak ditemukan di berbagai platform media sosial baik dalam bentuk teks maupun video lucu-lucuan, atau diucapkan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari.
Tapi intinya adalah, penantian atau harapan mendapatkan sejumlah uang yang dikonotasikan sebagai THR tersebut. Ada THR yang diharapkan istri terhadap suaminya, karyawan pada atasannya, maupun dengan sesama teman, kerabat, kolega, yang dianggap lebih sukses.
THR sejatinya adalah singkatan dari Tunjangan Hari Raya. THR ini merupakan pendapatan tambahan bagi para pekerja dari atasan/instansinya masing-masing, yang diberikan jelang hari raya keagamaan. THR harus diberikan dalam bentuk uang, bukan barang ataupun parcel.
Bagi umat Islam, THR diberikan jelang hari raya Idulfitri. Nilai THR ada ketentuannnya sendiri, sesuai Permenaker No 6 tahun 2016.
THR dalam Kehidupan Sehari-hari
Sekarang, makna THR sudah meluas menjadi uang didapatkan dari hasil silaturahmi pada saat hari raya Idulfitri. Liat saja pada Lebaran Idulfitri 2025 kemarin, banyak pemberitaan tentang artis yang berbagi THR.
Contoh Dewi Persik (DP) yang “dikecam” karena memberi Rp 10 ribu. Belakangan DP membantah bila dirinya pelit, karena THR Rp10 ribu itu diberikannnya pada 5000 anak di kampung halamannya, di Jember, Jawa Timur, yang bila dikalikan, nilainya sangat besar.
Apalagi selain uang, DP juga memberikan beras masing-masing 5 kg kepada para tetangganya. Berbeda dengan DP, Ayu Ting-Ting banyak menuai pujian.
Ia dinilai dermawan karena membagikan yang dengan pecahan yang berbeda, yaitu Rp 30 ribu untuk anak-anak, Rp 50 ribu untuk remaja, dan Rp 100 ribu untuk orang tua. THR itu yang bila ditotal seharga satu unit mobil itu, dibagikan kepada warga sekitar rumahnya, di Depok, Jawa Barat.
THR Pemutus Silaturahmi?
Berapa pun jumlahnya dan dalam konteks apa, THR memang identik dengan momen berbagi. Makanya jelang Lebaran, bertebaran jasa penukaran uang kecil di pusat-pusat keramaian.
Pada saat Lebaran, uang itu dibagikan pada anak-anak ataupun kerabat yang datang ke rumah kita. Biasanya diberikan pada para keponakan atau saudara dekat. Uang itu juga bisa diberikan saat kita berkunjung ke rumah kerabat, terutama yang memiliki anak kecil.
Momen berbagi harusnya menjadi saat yang membahagiakan. Namun, bisa juga menjadi momen pemutus silaturahmi. Kok bisa?
Tidak semua orang beruntung dan dapat berbagi dalam saat Lebaran. Atau bisa saja dahulu dia bisa berbagi, dan sekarang (sedang) tidak bisa, karena kondisi ekonomi yang berubah.
Seperti yang aku alami saat pulang kampung. Di sekitaran rumah orang tuaku, banyak sekali kerabat, dengan rumah yang bisa dikatakan rapat-rapat.
Dulu silaturahmi kami baik-baik saja. .Aku sering berkunjung ke rumah-rumah mereka.
Namun sekarang, sejak ada tren THR atau makin viralnya THR, jadi bingung hendak berkunjung ke rumah para kerabat tersebut.
Mereka selalu minta THR. Bukan hanya anak kecil, tapi justru yang meminta adalah orang-orang tua, yang seusia atau lebih tua dariku, serta kakek nenek.
Bagaimana menolaknya? Dan bagaimana cara memberinya?
Aku pernah berkunjung ke tetangga (rata-rata semuanya masih saudara) dekat rumah. Ketika aku sedang membuka toples kue, si tuan rumah berkata,” Jangan lupa ya, nanti bagi-bagi THR-nya.”
Spontan, kubatalkan membuka toples kue. Setelah berbasa basi sejak, aku pamit yang datang bersama anak dan ibuku, pamit pulang.
Bukan perkara mudah berbagi di lingkungan kami. Mereka jumlahnya banyak. Hampir semua adalah kerabat dekat. Rumahnya pun saling berdekatan. Bila satu diberi, yang lain juga akan meminta.
Bila satu diberi, yang lain akan protes. Bila tahun ini kita berbagi, tahun depan ditagih lagi.
Dulu, aku memang sering berbagi, walaupun bisa dikatakan alakadarnya. Dan itu tampaknya selalu diingat oleh para kerabat.
Apalah daya sekarang, kemampuan itu sedang tiada.
Akibatnya, aku tak lagi datang ke rumah para kerabat. Aku yang pulang kampung ke rumah orang tua, paling hanya berkunjung ke rumah adik-adik, yang semuanya tinggal di satu kabupaten.
Lima orang adikku, meski tinggal di kabupaten yang sama, namun jaraknya tidak berdekatan. Sehingga perlu dua hari untuk kami saling berkunjung. Dari enam bersaudara, hanya aku ng tinggal di ibukota Provinsi.
Mulanya, masih ada beberapa kerabat dekat yang datang ke rumah kami. Itulah yang kemudian bisa kuberi THR. Lama kelamaan, mungkin si kerabat ini bosan juga datang ke rumah kami (tepatnya rumah orang tuaku). Beberapa kali lebaran ini, mereka tidak datang lagi.
Aku rindu sebenarnya, untuk bersilaturahmi. Tapi kondisinya, seperti kuceritakan di atas. Dan ternyata, hal ini bukan aku saja yang merasakannya. Tapi juga adik-adik dan orang tuaku.
Atau mungkin bisa juga terjadi atau dialami oleh kalian, pembaca artikelku ini ya?
Bandar Lampung, 11 April 2025







