Tisu untuk Gus Dur


Gus Dur (Foto: NU Online)

Suatu hari ketika KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi presiden RI. Dan ketika aku masih menjadi jurnalis Tempo News Room (Majalah, koran, dan tempo.co). Gus Dur berkunjung ke Lampung, ke sebuah pesantren di Kabupaten Pringsewu, Lampung.

Aku datang sebelum Gus Dur tiba, bersama para jurnalis lainnya. Waktu itu Gus Dur itu berceramah di sebuah lapangan, yang dihadiri ratusan, mungkin juga ribuan warga.

Sebagai jurnalis, aku berdiri di depan. Tak jauh dari panggung, tempat Gus Dur berdiri. Panggung itu tidak tinggi, dan tanpa atap.

Saat sedang berceramah, tiba-tiba hujan turun. Namun seribuan warga yang hadir bergeming. Tetap berdiri di tempat masing-masing. Mendengarkan ceramah Gus Dur yang seru dan kerap diwarnai gelak tawa.

“Saat hujan seperti ini, biasanya ada yang modus. Modus kencing di celana, dengan pura-pura basah karena air hujan,” kata Gus Dur yang disambut gelak tawa warga yang hadir.

Beberapa warga yang hadir sudah mengantisipasi dengan membawa payung. Kulihat sejumlah ibu-ibu yang membawa anak, berdiri di posisinya masing-masing sambil menggendong atau menuntun anaknya.

“Luar biasa pesonanya Gus Dur,” pikirku.

Gus Dur yang sedang berceramah pun bergeming dengan hujan. Dia terus berbicara.

Sampai kemudian seorang pengawal, sepertinya Pampampres, mendekati kami para jurnalis yang sedang berdiri di tepi panggung.

“Ada yang punya tisu?” katanya sambil menatap berkeliling.

“Oh ada,” jawabku cepat.

Kukeluarkan sebungkus kecil tisu dari tas selempang yang kubawa. Lalu disodorkan pada si Paspamres.

“Ambil saja semua,” kataku saat si Paspamres hendak mengembalikan tisu setelah dia mengambil selembar.

Kulihat, si Pampasmres memberikan tisu yang sudah dikeluarkan dari bungkusnya itu ke Gus Dur. Sang presiden pun tampak mengusapkan tisu ke mukanya yang basah.

Tak lama, Paspampres menyodorkan tisu lainnya lagi. Gus Dur mengusap mukanya yang basah, lalu mengelap tisu tersebut ke muka dan tangannya. Begitu sampai beberapa kali.

Beberapa rekan jurnalis yang melihat itu, tersenyum padaku. “Hebat lu ya, bisa ngasih tisu ke presiden.”

Aku ikut tersenyum. Enggak nyangka juga, tisu yang kubawa menjadi se-berguna itu. Untuk mengelap muka seorang presiden, yang juga seorang ulama.

Al fatehah untuk beliau, salah satu guru bangsa ini.

Berita Terkait

Top