Gelar Kesarjanaan

Gelar Kesarjanaan yang Terlupakan
Ketika aku memutuskan untuk kuliah strata 2 (S2) pada tahun 2006 lalu, sebenarnya tak ada niatan yang istimewa dibenakku. Tidak ada cita-cita ataupun harapan tertentu, bila kelak gelar itu sudah kusandang. Waktu itu aku hanya berpikir, mungkin perlu juga aku kuliah S2, untuk membangkitkan lagi semangat (berpikir) ilmiahku.
Eit, apa pula berpikir ilmiah. Begini. Ketika mengambil program pasca sarjana itu, aku tengah sibuk-sibuknya menjadi jurnalis televisi. Profesi sebagai jurnalis televisi mudah tak mudah sebenarnya.
Dibilang mudah, karena tak perlu menulis dan berinvestigasi panjang lebar seperti ketika aku bekerja di Majalah Tempo, membutuhkan pikiran dan ketekunan yang luar biasa. Tak mudah, karena harus selalu siap sedia berada di lokasi, ketika peristiwa (liputan) itu berlangsung.
Intinya, menjadi jurnalis televisi, membuat relung jiwaku ada kekosongan, dan aku harus mengisinya dengan masuk ke dunia akademis lagi. Itu kesimpulanku, setelah melalui perenungan berbulan-bulan.
Sebelumnya aku tak pernah terpikir untuk kuliah lagi setelah tamat strata 1 (S1). “Kuliah S1 aja capek dan masih terasa jenuhnya, ngapain mau kuliah S2 segala,” cetusku, ketika beberapa teman bertanya, mengapa tak lanjut uliah lagi S2.
Itu memang jawaban asal-asalanku. Alasan sebenarnya adalah, ngapain harus kuliah S2, lah kerjaanku kan hanya seorang jurnalis, yang tidah butuh strata-strata-an. “Lagian, aku kan diterima kerja di majalah TEMPO ataupun Metro TV, tanpa menyertakan iajazah sarjana.” Ufftt, pongah ya aku zaman dulu, hehe. Maklum, masih muda.
Dulu aku bekerja di majalah TEMPO memang tanpa menyertakan ijazah sarjana, ketika mengirimkan surat lamaran. Aku saat itu memang masih berstatus mahasiswa. Sempat ada miss sebenarnya, karena pihak majalah TEMPO menyangka aku sudah sarjana.
Mungkin, melihat kurikulum viteaku yang pernah menjadi Pemimpin Redaksi di Surat Kabar Kampus Universitas Lampung (Teknokra), juga pernah menjadi pemimpin Redaksi di Majalah Fakultas (Republica) dan majalah mahasiswa di PMII Lampung, seolah mengesankan aku sudah rampung kuliah. Pengalaman sudah banyak, pasti sudah sarjana, begitu kali piker bagian SDM yang menyeleksi lamaran, hmm.
Aku memutuskan kuliah S2, setelah didesak oleh Ajo (suami, yang dulu masih ada embel-embel “calon”). Bukan perkara mudah untuk meluluhkan pendirianku, soal malas, jenuh, dan pikiran tak ada gunanya itu. Tapi lama-lama kelamaan kupikir mungkin ajo benar juga, perlu juga aku kujliah lagi, supaya aku “dipaksa” lagi berpikir tentang hal-hal yang ilmiah, akademis, dsb.
Tadinya, aku sempat mendaftar program pasca sarjana di Fakultas Komunikasi Universitas Indonesia. Namun karena pertimbangan lokasi bekerja di Bandar Lampung, dan ternyata kuliah pasca sarjana di UI waktunya setiap hari, akhirnya kuputuskan kuliah di pasca Universitas Lampung saja.
*****
Ketika aku kuliah, mendengarkan dosen bicara dalam perkuliahan, aku merasa seperti hidup kembali (eh memangnya aku sudah mati? Heee). Hidup berasa lebih semangat. Ada hal-hal serius yang harus dipikirkkan dan dicarikan jalan keluarnya, yaitu persoalan-persoalan kenegaraan dan kemasyarakatan yang muncul dari di ruang kuliah.
Namun, sekali lagi, aku hanya menikmati proses. Aku senang ada proses diskusi, membuat makalah, ujian, dsb. Aku tak mau lagi memikirkan, untuk apa aku kuliah, mengeluarkan biaya besar dan juga waktu, karena pasti aku mentok ke pikiran awal, bahwa kuliah tak ada gunanya.
Aku memgambil tesis dengan judul “Peluang Pengadilan HAM Kasus Talangsari, Lampung ” yang tak kunjung diproses hukum, sesuai dengan jurusan yang kuambil, Hukum Tata Negara. Tesis itu merupakan kelanjutan dari skripsiku, yang menginvestigasi kasus pelanggaran di Talangsari tersebut, dan yang sudah diterbitkan menjadi buku.
Idealisme mudaku muncul, seperti ketika kuliah S1, untuk menghasilkan tesis yang bermutu, dengan melakukan investigasi lanjutan seputar kasus pelanggaran HAM yang menewaskan ratusan umat Islam di Lampung Timur itu, mewawancarai para korban, tim advokasi, dan tim Komnas HAM di Jakarta.
Aku ujian tesis, dua hari setelah melahirkan anak pertama. Sebenarnya, pihak kampus melarang aku ikut ujian. Tapi aku merasa fisikku kuat. Meski dokter juga sebenarnya melarang, aku tetap memaksa ikut ujian. Bukan apa-apa, aku khawatir kalau ujian ditunda, aku akan membayar SPP lagi di semester berikutnya. Jadilah, aku ke kampus dengan terlebih dahulu menandatangai surat pernyataan di rumah, karena aku yang masih berstatus sebagai pasien, dan anak yang baru dilahirkan dititip di rumah sakit.
Selesai wisuda (yang prosesnya kuikuti juga tak sampai rampung), tak ada yang berubah. Iyalah, aku bukan PNS atau pegawai swasta yang pangkatnya bisa meningkat, setelah meraih gelar akademis tertentu. Ya sudahlah, anggap saja proses kuliah kemarin adalah pengalaman hidup, mengisi waktu luang…
*****
Usai dilantik menjadi anggota KPU Kota Bandar Lampung November 2014, kami datang ke kantor KPU, karena sedang acara peresmian gedung baru kantor. Saat itu, kami masih dalam status “dikarantina” di suatu tempat, untuk mengikuti acara orientasi dari KPU Propinsi.
Kami diantar beberapa staf, ke ruang kerja masing-masing. Aku terhenyak, ketika aku diantar ke ruang yang diatasnya ada papan nama bertuliskan: “Fadilasari, S.Sos, M.H”. Eit, itu aku bukan ya. Sejak kapan namaku ada M.H- nya pikirku terheran-heran. Astaga, untung tak ada yang melihat perubahan gelagatku. Katrok amat. Pasti aku dibilang orang dusun, yang ketika ditunjukkan ruang kerja, langsung termehek-mehek. Padahal bukan soal ruang kerja, tapi gelar itu lho. Kok bisa aku sampai lupa, dan pakai terhenyak segala.
Beberapa bulan kemudian, saat proses tahapan Pilkada, seorang staf menyodorkan selembar draft surat. Disitu ada namaku berikut gelar, yang harus kutandatangani. Si staf, mungkin sedang lelah, pakai acara bertanya,” Bu Ila gelarnya sudah benar belum ya, seperti saya tulis ini?,”.
Aku mengerenyitkan dahi. Aduh, berat amat pertanyaannya, cetusku iseng. “Coba liat dulu papan nama di pintu masuk ruang bu Ila ini, apa ya gelarnya, saya juga lupa,” kataku.
Si staf pun keluar, dan melihat papan nama di pintu masuk. “Benar bu, gelar bu Ila memang S.Sos, M.H,”katanya.
Hahahaa, aku yang sedang lelah, atau si staf yang sedang lelah ya. Soalnya, urusan mencantumkan gelar di surat menyurat ini KPU, bukan kali pertamanya, di hari itu. Ah entahlah…J
Enggal, 12 Oktober 2016







